Di antara
hak istri yang wajib dipenuhi oleh suami adalah menjima’nya sesuai kebutuhan
dan jangan sampai sang suami meninggalkan sang istri dalam jangka waktu yang
begitu lama tanpa dijima’, karena perilaku seperti ini merupakan salah satu
sebab bengkoknya perilaku istri. Di samping itu ada perkara yang begitu penting
terkait hal ini yang sedikit sekali para suami yang memperhatikannya, yaitu
memperhatikan keadaan sang istri ketika jima’, sebagian suami tidak peduli akan
kepuasan sang istri, sungguh ini merupakan sebuah bahaya yang lebih berat dari
pada perilaku meninggalkan sang istri sekian tahun tanpa jima’.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata:”Wajib atas sang suami untuk menjima’ istrinya
dengan ma’ruf, ini termasuk hak istri yang paling penting, jauh lebih penting
dari hak istri untuk diberi makan. Mengenai jima’ yang wajib, para ulama
berkata:”Wajib atas suami menjima’ istrinya minimal sekali setiap empat bulan,
ada pula ulama lain yang mengatakan:”Sesuai kebutuhan istri dan kemampuan suami,
sebagaimana sang suami memberinya nafkah sesuai kebutuhan istri dan kemampuan
suami, dan ini adalah pendapat yang paling shahih”[1].
Adab-adab
Jima’
Sebagai
bukti ketinggian dan keagungan agama Islam, mengajarkan dan mengatur segala hal
yang menjadi maslahat kehidupan manusia, tidak terkecuali masalah yang satu ini
yaitu menggauli atau menjima’ istri, berikut adalah adab-adab jima’:
Ø Mengucap do’a sebelum memulai jima’ atau ketika ingin melakukan
jima’, hal ini sebagaimana dalam riwayat Ibnu Abbas dan selain beliau,
bahwasanya Rasulullah bersabda:
لَوْ
أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ قَالَ: بِسْمِ اللهِ, اَلَّلهُمَّ
جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا, فَإِنَّهُ إِنْ
يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِيْ ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا.
“Seandainya jika salah seorang dari mereka
akan mendatangi istrinya berdo’a dengan mengucapkan:”Allahumma jannibnas
Syaithan wa Jannibis Syaithan ma Razaktana” (Ya Allah jauhilah kami dari
syaithan dan jauhkanlah syaithan dari apa yang akan Engkau beri (anak
keturunan).Maka apabila mereka ditakdirkan mendapatkan anak dengan sebab
hubungan itu, maka anak itu tidak akan diganggu syaithan selamanya”[2].
Ibnu Hajar berkata:
لَمْ
يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا
“Maka anak itu tidak akan diganggu syaithan selamanya”
Maksudnya bahwa syaithan tidak akan mampu mengganggu anak itu baik
badan maupun agamanya, dan bukan maksudnya terhindarnya anak tersebut dari
was-was (baca:godaan syaithan)”[3].
Ø Disunnahkan menutup badan ketika melakukan jima’, dalil akan hal ini
adalah apa yang diriwayatkan oleh Bahz bin Hakim dari bapaknya dari kakeknya,
dia (kakeknya) bertanya kepada Rasulullah:
إِذَا
كَانَ أَحَدُنَا خَالِيًا؟ قَالَ: اَللهُ أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْهُ مِنَ
النَّاسِ.
“Apabila salah seorang dari kami sendirian
(bolehkah telanjang)? Rasulullah menjawab:”Allah jauh lebih berhak untuk anda
malu kepadanya dari pada manusia”[4].
Ø Disunnahkan wudhu terlebih dahulu apabila ingin mengulang jima’
sekali lagi, sebagaimana dalam riwayat Abu Sa’id al-Khudry, dia berkata:Rasulullah
bersabda:
إِذَا
أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُوْدَ فَلْيَتَوَضَّأْ.
“Apabila salah seorang dari kalian mendatangi
(menjima’) istrinya lalu dia ingin mengulang lagi maka hendaknya dia wudhu’
terlebih dahulu”[5].
0 Response to "Hak Istri Untuk Dijima'"
Posting Komentar
Pertanyaan dan komentar, akan kami balas secepatnya-insyaallah-.