Baca Surat Yasin Untuk Orang Mati?

Ada salah seorang ikhwah mengirim sms pertanyaan ke HP kami mengatakan:” …Tolong dijelaskan dasar tidak dituntunkannya membaca surat Yasin di kuburan karena sebagian ust membolehkannya berdalil dengan sebagian hadits…!!!
Pertanyaan di atas akan kami jawab dari beberapa segi:
Pertama :Tidak diragukan lagi bahwasanya al-Qur’an yang mulia ini merupakan sebaik-baik bacaan dan sebaik-baik petunjuk bagi manusia, bagaimana tidak satu huruf yang kita baca akan diganjar sepuluh pahala, bagaimana tidak sedangkan Allah berfirman:
فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقىَ
“Barangsiapa yang menikuti petunjuk-Ku (al-Qur’an) maka dia tidak akan sesat dan celaka.”(Taha:123-124).
Namun walaupun demikian, Allah juga berfirman dalam surat Yasin:
لِيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا
“Agar al-Qur’an ini menjadi peringatan bagi orang yang masih hidup.”(Yasin:70).
Jadi al-Qur’an yang mulia ini adalah sebagai petunjuk dan peringatan bagi orang yang masih hidup bukan untuk orang mati.
Kedua:Terkait dengan sampai atau tidaknya pahala baca al-Qur’an kepada orang yang meninggal, pendapat yang benar dan dipegang oleh Imam as-Syafi’I dan para pengikut setia beliau  bahwa pahala baca al-Qur’an dari seorang yang masih hidup tidak akan sampai jika dihadiahkan kepada seorang yang telah meninggal, al-Hafidz Ibnu Katsir as-Syafi’i-rahimahullah-ketika menafsirkan firman Allah surat an-Najm 38-39.
أَلاَّ تَزِرْ وَازِةٌ وِزْرَ أُخْرَى.وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعىَ
(Yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.
Beliau (Ibnu Katsir) mengatakan:
“Yaitu sebagaimana seseorang tidak akan memikul dosa orang lain demikian pula seseorang tidak akan memperoleh ganjaran (pahala) kecuali apa-apa yang ia usahakan sendiri untuk dirinya. Dari ayat yang mulia inilah (surat an-Najm 38-39) Imam as-Syafi’I dan para pengikut beliau beristinbat (mengeluarkan hukum) bahwa bacaan al-Qur’an tidak akan sampai hadiah pahalanya kepada orang yang telah meninggal. Karena bacaan al-Qur’an itu bukan amalan/usaha si mati, oleh karena itu Rasulullah-shallallahu alaihi wasallam-tidak pernah memerintahkan ummatnya untuk melakukan hal ini (baca al-Qur’an untuk orang mati), tidak pula Rasulullah menganjurkan ummat beliau dan tidak pula beliau nasihati ummat ini untuk membacakan al-Qur’an untuk mayat, tidak ada dalil yang menunjukkan akan perintah itu bahkan hanya sekedar isyaratpun tidak ada, (membacakan al-Qur’an untuk mayat termasuk membacakannya Yasin ini) tidak pernah dilakukan oleh sahabat Rasulullah, seandainya perbuatan itu baik niscaya mereka (para sahabat) akan terlebih dahulu melakukannya, dan dalam masalah ibadah kita harus mencukupkan diri dengan apa yang tercantum dalam nash-nash(dalil-dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah) serta tidak boleh kita membuat-buat ibadah dengan berbagai bentuk qiyas dan mengandalkan kreatifitas akal (ra’yu).”(lihatTafsir Ibnu Katsir 4/236).
Terkait erat dengan pertanyaan di atas kita garis bawahi perkataan al-Hafidz Ibnu Katsir-rahimahullah-:“seandainya perbuatan itu baik niscaya mereka (para sahabat) akan terlebih dahulu melakukannya” adalah sebuah ka’idah agung yang layak ditulis dengan tinta emas, suatu amalan ibadah yang dikaitkan dengan agama Islam yang mulia ini jika memang baik dan berpahala niscaya para sahabat akan terlebih dahulu melakukannya karena mereka adalah generasi emas ummat ini, generasi yang paling semangat melakukan segala amal keta’atan, dan sebaliknya jika ada amal ibadah dilakukan oleh orang-orang khalaf (generasi kemudian) tapi tidak pernah dilakukan oleh salaf (generasi sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in) maka ketahuilah bahwa amalan itu bukan tuntunan syari’at yang mulia ini, kita balik bertanya kepada penanya adakah riwayat shahih yang menunjukkan bahwa para sahabat (terutama para khulfa’ur rasyidin) sering berdatangan ke kuburan untuk membacakan surat Yasin kepada keluarga atau sahabat lain yang meninggal lebih dulu dengan cara yang kita lihat dilakukan orang zaman ini…???
Ketiga:Terkait beberapa riwayat yang sering dijadikan sandaran akan disyari’atkannya membaca Yasin kepada orang yang sedang ihtidhar (sekarat) atau membacakannya di kuburan:
Riwayat pertama dari jalan Sulaiman at-Taimy dari Abu Utsman dari bapaknya dari Ma’qil bin Yasar dari Rasulullah bersabda:
اِقْرَؤُوْا يَس عَلىَ مَوْتَاكُمْ
“Bacalah Yasin terhadap orang yang meninggal/sekarat di antara kalian.”(HR.Ahmad 5/26,27, Ibnu Majah no.1448 dan selain mereka berdua).
Riwayat ini tidak bisa dijadikan sandaran, karena mempunyai cacat-cacat di bawah ini:
-Riwayat ini sanadnya mudhtharib (kacau sanadnya)
Terkadang dari jalan Abu Utsman dari bapaknya dari Ma’qil secara marfu’(sampai ke Rasulullah.
Terkadang dari jalan Abu Utsman dari Ma’qil secara marfu’.
Terkadang dikatakan dari salah seorang laki-laki dari ayahnya dari Ma’qil secara marfu’.
Dan terkadang juga langsung dikatakan dari Ma’qil secara mauquf (tidak bersambung ke Rasulullah hanya sampai sahabat yaitu Ma’qil).
 Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam at-Talkhis (2/104) telah menukil dari Ibnul Qaththan bahwa dia menolak hadits ini karena dia mudhtharib dan mauquf.
-Cacat yang kedua, sebagaimana dikatakan oleh adz-Dzahaby (al-Mizan 4/550):”(Riwayat)Abu Utsman -ada yang mengatakan nama aslinya adalah Sa’ad-dari bapaknya dari Ma’qil bin Yasar: “Bacalah Yasin terhadap orang yang meninggal/sekarat di antara kalian.” Bapaknya si Abu Utsman ini tidak dikenal, juga Abu Utsman sendiri tidak diketahui siapa dia dan tidak ada seorangpun yang meriwayatkan dari Abu Utsman ini kecuali Sulaiman at-Taimy.”
Ibnul Madiny mengatakan tentang Abu Utsman ini:”Tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Sulaiman at-Taimy, dan dia (Abu Utsman) ini majhul (tidak diketahui siapa dia).”
Hadits ini juga didha’ifkan oleh an-Nawawy dalam al-Adzkar (hlm.132) juga oleh Ibnu Hajar dalam al-Futuhaat ar-Rabbaniyyah (4/118) seraya mengatakan:”Hadits ini gharib (asing,maksud beliau:dha’if), begitu pula ad-Daruqutny berkata tentang hadits ini sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam at-Talkhis (2/104):”Hadits ini dha’if sanadnya, matannya majhul dan tidak ada satupun riwayat yang shahih dalam masalah ini.”
Riwayat kedua yang sering dijadikan dalil dalam masalah ini adalah riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (4/105) dari Abul Mughirah dari Shafwan dia berkata:”Saya diceritakan oleh para guru bahwasanya mereka hadir ketika Ghudhaif ibnul Harits sekaratnya sulit, lalu dia berkata:”Apakah ada di antara kalian yang bisa membaca surat Yasin? Perawi (Shafwan)berkata:”Maka Shalih bin Syuraih as-Sakuni membacakan Yasin. Lantas setelah sampai di ayat ke-40 Ghudaif meninggal.
Shafwan berkata:”Maka para gurupun mengatakan:”Apabila surat Yasin dibacakan kepada orang yang sedang sekarat maka sekaratnya akan diringankan.” Shafwan juga berkata:”Surat Yasin juga dibacakan oleh Isa Ibnul Mu’tamir kepada Ibnu Ma’bad (yang sedang sekarat).”
Dalam sanad riwayat ini terdapat Shalih Ibnu Syuraih Ibnu Abi Hatim berkata tentangnya dalam al-Jarh wat Ta’dil (4/405):” Majhul (tidak diketahui).”
Oleh karena itu apa yang dia nukil dari para guru bahwa “Apabila surat Yasin dibacakan kepada orang yang sedang sekarat maka sekaratnya akan diringankan.” Tidak bisa diterima karena yang menukil perkataan ini adalah dia sedangkan dia sendiri majhul, apalagi para guru yang dia maksud tidak diketahui siapa orangnya.Walaupun Ibnu Hajar berkata tentang riwayat ini dalam al-Ishabah (5/190):”Hadits ini sanadnya hasan”. Tetap tidak bisa diterima karena alasan di atas, Apalagi jika kita ingat kembali apa yang dikatakan oleh ad-Daruquthny-imam dalam masalah illat (cacat) dan keadaan para rawi- di atas:” dan tidak ada satupun riwayat yang shahih dalam masalah ini.”
Riwayat ketiga adalah apa yang dibawakan oleh Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbahan dari jalan Marwan bin Salim dari Shafwan bin Amr dari Syuraih dari Abu Darda’ dia berkata:Rasulullah bersabda:
ما من ميت يموت, فيقرأ عنده يس, إلا هون الله عليه
“Tidaklah seorang itu meninggal, lalu dibacakan surat Yasin kepadanya melainkan Allah akan meringankannya”.
Hadits ini tidak bisa dijadikan dalil karena dalam sanadnya ada Marwan bin Salim Imam Ahmad, al-Uqaily dan an-Nasa’I berkata tentangnya:”Tidak tsiqah, di tempat lain an-Nasa’I berkata:”Matruk(ditinggalkan haditsnya).” Al-Bukhari dan Muslim mengatakan:”Haditsnya mungkar.” Abu Arubah al-Harrani berkata:”Suka membuat-buat hadits.”…(lihat Tahdzibut Tahdzib:10/94)
Keemapat: Kami akan nukilkan fatwa Mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah beliau ditanya, “Apakah membaca Al Qur’an di sisi kubur termasuk amalan yang tidak dituntunkan khususnya surat Fatihah dan Al Baqarah? Karena setahu saya setelah membaca kitab Ar Ruh karya Ibnul Qayyim bolehnya membaca Qur’an ketika pemakaman mayit dan setelah pemakaman. Beliau menyebutkan bahwa para salaf menasehati agar membaca al-Qur’an ketika pemakaman.
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,
Membaca Al Qur’an di sisi kubur adalah di antara amalan yang tidak dituntunkan sehingga tidak boleh kita lakukan. Kita tidak boleh pula shalat di sisi kubur karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan seperti itu. Begitu pula hal tersebut tidak pernah dituntunkan oleh khulafaur rosyidin (Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, -pen). Karena amalan tadi hanyalah dilakukan di masjid dan di rumah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اجْعَلُوا مِنْ صَلاَتِكُمْ فِى بُيُوتِكُمْ وَلاَ تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا
Jadikanlah shalat kalian di rumah kalian dan jangan jadikan rumah tersebut seperti kubur” (HR. Bukhari no. 432 dan Muslim no. 777). Hadits ini menunjukkan bahwa kubur bukanlah tempat untuk shalat dan juga bukan tempat untuk membaca Al Qur’an.  Amalan yang disebutkan ini merupakan amalan khusus di masjid dan di rumah. Yang hendaknya dilakukan ketika ziarah kubur adalah memberi salam kepada penghuninya dan mendoakan kebaikan pada mereka.
Adapun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah penguburan mayit, beliau berhenti di sisi kubur dan berkata,
اسْتَغْفِرُوا لأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ التَّثْبِيتَ فَإِنَّهُ الآنَ يُسْأَلُ
Mintalah ampun pada Allah untuk saudara kalian dan mintalah kekokohan (dalam menjawab pertanyaan kubur). Karena saat ini ia sedang ditanya” (HR. Abu Daud no. 2758. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Beliau sendiri tidak membaca Al Qur’an di sisi kubur dan tidak memerintahkan untuk melakukan amalan seperti ini..
Memang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar -jika  riwayat tersebut shahih- bahwa beliau melakukan seperti itu, alasan ini tidak bisa dijadikan pendukung. Karena yang namanya ibadah ditetapkan dari sisi Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam atau dari Al Qur’an. Perkataan sahabat tidak selamanya menjadi pendukung, begitu pula selainnya selain khulafaur rosyidin. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda mengenai khulafaur rosyidin,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Wajib atas kalian berpegang tegus dengan ajaranku dan juga ajaran khulafaur rosyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah kuat-kuat ajaran tersebut dengan gigi geraham kalian” (HR. Tirmidzi no. 2676 dan Ibnu Majah no. 42. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih). Ajaran khulafaur rosyidin bisa jadi pegangan selama tidak menyelisihi ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan sahabat lainnya, maka itu tidak selamatnya  bisa menjadi pegangan dalam hal ibadah. Karena sekali lagi, ibadah adalah tauqifiyah, mesti dengan petunjuk dalil. Ibadah itu tauqifiyyah, diambil dari Al Qur’an dan ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih.
Adapun perkataan Ibnul Qayyim dan sebagian ulama lainnya, itu tidak bisa dijadikan sandaran. Dalam masalah semacam ini hendaklah kita berpegang pada Al Qur’an dan As Sunnah. Amalan yang menyelisihi keduanya adalah amalan tanpa tuntunan. Jadi, kita tidak boleh shalat di sisi kubur, membaca Al Qur’an di tempat tersebut, berthawaf mengelilingi kubur, dan tidak boleh pula berdo’a kepada selain Allah di sana. Tidak boleh seorang muslim pun beristighotsah dengan berdo’a kepada penghuni kubur atau si mayit. Tidak boleh pula seseorang bernadzar kepada penghuni kabar karena hal ini termasuk syirik akbar. Sedangkan berdo’a di sisi kubur atau berdo’a pada Allah di sisi kubur termasuk amalan yang mengada-ngada.
Lalu Syaikh rahimahullah ditanya oleh salah satu muridnya, “Apalah Imam Ahmad telah rujuk secara perbuatan dari pendapat yang membolehkan berdo’a di sisi kubur? Jazakumullah khoiron, semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.
Diriwayatkan mengenai hal ini, namun aku sendiri tidak mengetahui keshahihannya seandainya  beliau rujuk. Namun jika beliau membolehkannya (berdo’a di sisi kubur), maka beliau keliru, sama halnya dengan ulama lainnya. Dan Ibnu ‘Umar sendiri lebih afdhol dari Imam Ahmad.  Sekali lagi, pegangan kita dalam ibadah adalah dalil Al Qur’an dan As Sunnah.
Allah Ta’ala berfirman,
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa’: 59).
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ
Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (dikembalikan) kepada Allah.” (QS. Asy Syura: 10).
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah.” (QS. Al Hasyr: 7). Amalan ini adalah permasalahan ibadah dan permasalah yang urgent sehingga seharusnya setiap muslim kembalikan pada ajaran Al Qur’an dan As Sunnah yang suci.
Ada yang bertanya lagi pada Syaikh Ibnu Baz, “Apakah engkau berpegang pada madzhab tertentu?”
Beliau rahimahullah menjawab, Fatwa yang kukeluarkan tidaklah berdasarkan pada madzhab tertentu, aku tidak berpegang pada madzhab Imam Ahmad dan imam lainnya. Yang selalu jadi peganganku adalah firman Allah dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baik pendapat tersebut terdapat pada madzhab Ahmad, Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, atau Zhohiriyah atau pada sebagian ulama salaf di masa silam. Yang selalu jadi peganganku adalah dalil Al Qur’an dan As Sunnah. Saya tidak selalu berpegang pada madzhab Hambali atau madzhab lainnya. Sandaranku sekali lagi adalah pada firman Allah dan sabda Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan yang menjadi petunjuk dari kedua dalil tersebut dalam berbagai hukum. Inilah kewajiban yang harus diikuti setiap penuntut ilmu.(text arab fatwa beliau bisa dilihat di sini)

3 Responses to "Baca Surat Yasin Untuk Orang Mati?"

Anonim mengatakan...

alhamdulillah dapat ilmu baru....

Unknown mengatakan...

Ass. Wr. Wb.
Adanya perbedaan dalam Islam, sebenarnya tidak perlu dipertajam. Sebab dengan memperuncing perbedaan itu tak ubahnya seseorang yang suka menembak burung di dalam sangkar. Padahal terhadap Al-Qur’an sendiri memang terjadi ketidak samaan pendapat. Oleh sebab itu, apabila setiap perbedaan itu selalu dipertentangkan, yang diuntungkan tentu pihak ketiga. Atau mereka sengaja mengipasi ? Bukankah menjadi semboyan mereka, akan merayakan perbedaan ? Hanya semoga saja jika pengomporan dari dalam, hal itu bukan kesengajaan. Kalau tidak, akhirnya perpecahan yang terjadi. Jangan beraninya cuma kepada sesama Muslim nya saja.
Apabila perbedaan itu memang kesukaan Anda, salurkan saja ke pedalaman kepulauan nusantara. Disana masih banyak burung liar beterbangan. Jangan mereka yang telah memeluk Islam dicekoki khilafiyah furu’iyah. Bahkan kalau mungkin, mereka yang telah beragama tetapi di luar umat Muslimin, diyakinkan bahwa Islam adalah agama yang benar. Sungguh berat memang.
Ingat, dari 87 % Islam di Indonesia, 37 % nya Islam KTP, 50 % penganut Islam sungguhan. Dari 50 % itu, 20 % tidak shalat, 20 % kadang-kadang shalat dan hanya 10 % pelaksana shalat. Apabila dari yang hanya 10 % yang shalat itu dihojat Anda dengan perbedaan, sehingga menyebabkan ragu-ragu dalam beragama yang mengakibatkan 9 % meninggalkan shalat, berarti ummat Islam Indonesia yang beneran hanya tinggal 1 %.
Terhadap angka itu Anda ikut berperan, dan harus dipertanggung jawabkan kepada Allah SWT. Astaghfirullah.
Wass. Wr. Wb.
hmjn wan@gmail.com

Faisal Amir mengatakan...

artikel yang bermanfaat, terimakasih :)

Posting Komentar

Pertanyaan dan komentar, akan kami balas secepatnya-insyaallah-.