Bid'ah dan Mashalih Mursalah

Al-Hafidz Ibnu Rajab-rahimahullah- memberikan definisi yang bagus terhadap apa yang dinamakan bid’ah, beliau mengatakan:


فَكُلُّ مَنْ أَحْدَثَ شَيْئًا, وَنَسَبَهُ إِلىَ الدِّيْنِ, وَلَمْ يَكُنْ لَهُ أَصْلٌ مِنَ الدِّيْنِ يُرْجَعُ إِلَيْهِ, فَهُوَ ضَلاَلَةٌ, وَالدِّيْنُ مِنْهُ بَرِيْئٌ


“Maka setiap orang yang membuat hal baru, dan menghubungkannya dengan agama/ibadah, namun tidak mempunyai dalil dari agama ini yang bisa diruju’ kepadanya maka itu adalah sesat dan agama Islam berlepas diri dari hal itu”.[1]
Maka dari definisi di atas kita bisa menyimpulkan syarat sesuatu dikatakan bid’ah:
1.     Mengadakan suatu yang baru
2.     Dihubungkan dengan agama/ibadah
3.     Tidak mempunyai dalil syar’i
Adapun “mashalih mursalah” maka:
Mashalih bentuk jama’/plural dari kata maslahat yang artinya manfaat baik duniawi maupun ukhrawi, sedangkan “mursalah” artinya “muthlaqah” yaitu dilepaskan atau diserahkan.
Menurut istilah “mashalih mursalah” adalah manfaat (sesuatu yang berguna) yang tidak terdapat dalil khusus akan dianggapnya manfaat itu atau tidak. Ibnu Taimiyah berkata:


وَهُوَ أَنْ يَرَى الْمُجْتَهِدُ أَنَّ هَذَا الْفِعْلُ يَجْلِبُ مَنْفَعَةً رَاجِحَةً ، وَلَيْسَ فِي الشَّرْعِ مَا يَنْفِيْهِ


“yaitu seorang mujtahid memandang bahwa suatu urusan ini akan mendatangkan manfaat yang jelas, namun dalam syari’at tidak ada dalil yang melarangnya”[2].

Mirip “Mashalih Mursalah” dan Bid’ah?
Beliau (Ibnu Taimiyah) melanjutkan pembicaraan beliau:


وكثير مِمَّا ابتدعه الناس من العقائد والأعمال من بدع أهل الكلام وأهل التصوف وأهل الرأي وأهل الملك حسبوه منفعة أو مصلحة نافعًا وحقًّا وصوابًا ولَمْ يكن كذلك.



“Banyak hal yang dalam maslah akidah dan amal ibadah yang dibuat-buat oleh manusia termasuk juga bid’ah-bid’ah ahli kalam, orang-orang sufi, orang-orang yang mendahulukan akal dan para penguasa, mereka menganggap itu semua adalah
maslahat dan manfaat padahal tidak demikian adanya”.[3]                                             
Di sini Syaikhul Islam menyinggung tentang terjadinya “penyamaran” pada sebagian orang bahwa suatu yang sebenarnya bid’ah dalam agama akan tetapi oleh sebagian orang sesuatu itu dianggap mempunyai maslahat sehingga tidak termasuk dalam bid’ah akan tetapi termasuk dalam mashalih mursalah, sehingga dalam perkataan beliau yang akan kami bawakan di bawah ini beliau memberi kaidah yang dengannya kita bisa membedakan mana yang bid’ah dan mana yang termasuk mashalih mursalah, sebagai ilustrasi ketika kita mengingkari suatu bid’ah yang dilakukan oleh mereka semisal berdakwah dengan nasyid “islami”, mereka akan menjawab:”banyaka hal yang tidak dilakukan oleh Rasulullah dan sahabatnya dalam hal ibadah tapi dilakukan oleh kaum muslimin zaman sekarang ini, apakah itu juga termasuk bid’ah, contoh sepele adalah memakai mikropon ketika menyampaikan kajian atau memakai mikropon ketika azan, bukankah menuntut dan mendengar ilmu yang disampaikan adalah ibadah? Bukankah azan adalah ibadah? Bukankah memakai mikropon di situ adalah wasilah (sarana) dakwah saja? Sama seperti berdakwah melalui nasyid, film, partai dan lain sebagainya ? Ini adalah mashalih mursalah”.

Ka’idah Penting oleh Syaikhul Islam
Sesuatu dikatakan “dibolehkan” karena termasuk dalam mashalih mursalah harus  memenuhi syarat dan ka'idah di bawah ini:
Dengan memeriksa terlebih dahulu apakah sesuatu yang dianggap termasuk mashalih mursalah ini, muqtadi (tuntutan) untuk melakukannya di zaman Rasulullah ada atau tidak? Lalu apakah tidak ada mawani’ (penghalang untuk melakukannya? Kita ambil contoh berdakwah memakai nasyid atau nyanyian, muqtadi (tuntutan) untuk berdakwah dengan hal ini ada di zaman Rasulullah dan tidak ada mawani’ (penghalang), karena Rasulullah dan para sahabatnya adalah orang yang paling semangat berdakwah, segala cara (yang disyari’atkan) akan mereka tempuh untuk membuat manusia mendapat hidayah:


لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُوْلٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ


“Sesungguhnay telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan dan penyayang terhadap orang-orang mukmin”.(at-Taubah:128).
Namun nyatanya Rasulullah-shallallahu alaihi wasallam-tidak ada yang berdakwah dengan cara itu, maka berdakwah dengan cara tersebut bukan mashalih mursalah tapi bid’ah muhdatsah, adapun adzan dengan memakai pengeras suara/mikropon maka ini bukan bid’ah. Mengapa demikian padahal muqtadi (tuntutan) untuk menggunakannya di zaman Rasulullah dan sahabat ada? Yaitu supaya suara adzan terdengar ke seluruh penjuru? Jawabannya: karena adanya mawani’ (penghalang), sebab di zaman itu belum ada penemuan dan teknologi seperti zaman ini, begitu juga halnya dengan pengumpulan al-Qur’an sepeninggal Rasulullah di zaman Utsman bin Affan bukan bid’ah, karena muqtadi (tuntutan) untuk melakukannya di zaman Rasulullah tidak ada karena beliau masih hidup berada di tengah-tengah para sahabat, lalu dilakukan di zaman sahabat sepeninggal beliau karena tuntutan itu sudah ada, begitu juga halnya dengan shalat tarawih berjama’ah, muqtadi (tuntutan) untuk dilakuakan secara berjama’ah di zaman Rasulullah memang ada, akan tetapi ada mawani’ (penghalang) yaitu Rasulullah kuatir salat tarawih jadi wajib, maka sepeninggal beliau shalat tarawih dilakukan secara berjama’ah karena mawani’nya telah hilang karena kekuatiran diwajibkannya telah hilang dengan meninggalnya beliau dan wahyu telah terputus. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam hal ini berkata:


والضابط فِي هذا -والله أعلم-: أن يُقال: إن الناس لا يُحدثون شيئًا إلا لأنَّهم يرونه مصلحةً؛ إذ لو اعتقدوه مفسدةً لَمْ يُحدثوه, فإنه لا يدعو إليه عقلٌ ولا دينٌ, فما رآه الناس مصلحةً نظر فِي السبب الْمُحوج إليه, فإن كان السبب الْمُحوج أمرًا حدث بعد النَّبِي-صلى الله عليه وسلم-من غير تفريط منا فهنا قد يَجوز إحداث ما تدعو الْحَاجة إليه, وكذلك إن كان الْمُقتضي لفعله قائمًا على عهد رسول الله –صلى الله عليه وسلم-لكن تركه النَّبِي-صلى الله عليه وسلم- لِمعارضٍ زال بِموته...فكل أمرٍ يكون الْمُقتضي لفعله على عهد رسول الله –صلى الله عليه وسلم-موجودًا لو كان مصلحةً ولَمْ يُفعل يُعلم أنه ليس بِمصلحةٍ, وأما ما حدث الْمُقتضي له بعد موته من غير معصية الخلق, فقد يكون مصلحة.


“Qa’idah dalam masalah ini-wallahu a’lam- adalah:”Kita katakana bahwasanya manusia tidak tidak membuat sesuatu yang baru kecuali karena memandang bahwasanya hal itu ada maslahatnya, karena jikalau mereka memandang pada sesuatu itu ada mafsadah niscaya mereka tidaka akan mengadakannya, tidak ada tuntutan untuk mengadakannya baik secara akal maupun agama, oleh karena itu apa yang dipandang oleh manusia sebagai maslahat (masalih mursalah), terlebih dahulu kita melihat “tuntutan”  yang membuat hal itu harus diadakan, jika tuntutan itu baru ada setelah zaman Rasulullah, maka saat itu boleh mengadakan sesuatu yang dibutuhkan itu, begitu juga jika ada “tuntutan” untuk mengadakannya di zaman Rasulullah, tapi beliau meninggalkannya disebabkan adanya mawani’/mu’arid (penghalang) yang akan hilang sepeninggal beliau (maka ini juga masalih mursalah bukan bid’ah, seperti:mengumpulakn al-Qur’an, shalat tarawih berjama’ah dll)…oleh karena itu setiap perkara yang muqtadi (tuntutan) nya ada di zaman Rasulullah, lalu tidak dilakukan maka itu bukanlah maslahat (tapi bid’ah), adapun jika muqtadinya ada sepeninggal Rasulullah tapi bukan karena maksiat hamba maka ini bisa jadi adalah maslahat (masalih mursalah)”.[4] Allahu A’lam.


[1] Jam’ul Ulum wal Hikam 2/128
[2] Majmu’ Fatawa 11/342,343
[3] Idem
[4] Idem

2 Responses to "Bid'ah dan Mashalih Mursalah"

thepronx mengatakan...

sekian abad tentu banyak ulama'. Tapi kenapa ini cuma mengambil syekh ibnu taimiyah saja ya ? sadar lah biar kita bisa obyektif....

thepronx mengatakan...

Yang menentukan muqtadhi kearah mana adalah hasil ijtihad. dan mujtahid bukanlah ibnu taymiyah saja... Untuk itu, jangan biarkan wawasan anda terkungkung seputar beberapa jilid kitab ibny taimiyah...

Posting Komentar

Pertanyaan dan komentar, akan kami balas secepatnya-insyaallah-.