Hukum-hukum yang Berkaitan dengan Istihadhah

darah istihadhah
Istihadhah ialah mengalirnya darah bukan pada waktu kebiasaannya secara membanjir dari sebuah saluran darah tertentu. Wanuta yang mengalami istihadhah masalahnya cukup rumit,karena kemiripan darah haidh dengandarah istihadhah.
Wanita yang darahnya keluar terus-menerus atau lebih sering (ia harus memilah), darah mana yang dianggapnya haidh, dan darah mana yang dianggapnya istihadhah, yang karenanya ia tidak boleh meninggalkan puasa dan shalat? Karena wanita yang sedang istihadhah dianggap sama, menurut hukum fiqih, dengan wanita suci.
Atas dasar ini wanita yang mengalami istihadhah itu ada tiga kriteria:
Pertama: Wanita itu mengenali kebiasaannya sebelum terkena istihadhah. Umpamanya, sebelum terkena istihadhah, masa haidhnya lima atau delapan hari pada awal atau pertengahan bulan. Dia kenali betul jumlah hari dan waktu datangnya haidh. Wanita seperti ini meninggalkan shalat dan puasa sejak sejumlah hari kebiasaannya sebelum terkena istihadhah, dan hari-hari kebiasaannya itu ia dianggap haidh dan berkonsekwensi hukum seperti halnya wanita haidh. Setelah habis masa kebiasaannya itu ,ia wajib mandi dan melakukan shalat, dan menganggap darah yang tersisa sebagai darah istihadhah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah  - shalallahu ‘alaihi wasallam-  kepada Ummu Habibah:


أُمْكُثِي قَدْرَ مَاكَانَتْ تَحْبِسُكِ حَيْضَتُكِ,ثُمَّ اغْتَسِلِيْ و صَلِّيْ. رواه مسلم.


“Berdiamlah diri sejumlah hari haidhmu (yang telah kamu kenali itu) setelah itu mandilah dan lakukanlah shalat”.
   Dan sabda Beliau –shalallahu ‘alaihi wasallam- kepada Fathimah Binti abu Hubaisy:


إِنَّمَا ذلِكَ عِرْقٌ وَ لَيْسَ بِحَيْضَةٍ. فَإِذَا أَقْبَلَتْ حَيْضَتُكِ فَدَعِي الصَّلَاةَ. متفق عليه.


“(Darah istihadhah itu) sesungguhnya hanyalah darah yang memancar dari salah satu saluran darah, bukan darah haidh. Maka, jika datang hari haidhmu (yang telah kamu kenali itu), tinggalkanlah shalat”.
Kedua: wanita yang tidak mengenali kebiasaan kapan dan berapa jumlah hari haidhnya, akan tetapi darah yang keluar dapat dibedakan. Kadangkala memiliki kriteria darah haidh, seperti kehitam-hitaman, kental dan berbau menyengat. Semantara di waktu lain tidak memiliki kriteria darah haidh, seperti merah segar tak berbau dan tidak pula kental. Dalam kondisi ini, masa keluarnya darah yang berkriteria darah haidh, harus ia anggap sebagai masa haidh. Di masa itu ia berdiam diri dan tidak shalat maupun puasa. Saat jenis darah yang keluar itu berubah lain, haruslah ia anggap itu darah istihadhah. Setelah akhir keluarnya darah berkriteria haidh itu, ia wajib mandi, berikutnya shalat dan puasa, dan ia anggap dirinya telah suci. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wasallam- kepada Fathimah binti Abu Hubaisy:



إِذَا كَانَ الْحَيْضُ, فَإِنَّهُ أَسْوَدُ يُعْرَفُ, فَأَمْسِكِيْ عَنِ الصَّلَاةِ, فَإِذَا كَانَ الْآخَرُ فَتَوَضَئِيْ وَصَلِّيْ. رواه أبو داود والنسائي وصححه ابن حبان و حاكم.


“Jika yang keluar itu darah haidh, yaitu kehitam-hitaman sepeti yang dikenali, maka janganlah kamu shalat. Namun, jika yang keluar itu adalah yang lain, maka berwudhulah dan shalatlah”.
   Di dalam hadits ini terdapat pelajaran. Yaitu, bahwa wanita yang sedang istihadhah hendaknya yang dijadikan penentu adalah jenis dan warna darah. Dengan demikian ia dapat membedakan antara darah haidh dan darah lainnya.
Ketiga: Wanita yang tidak mempunyai kebiasaan hari haidh yang dikenalinya dan sulit baginya mengenali jenis darah yang dapat membedakan antara darah haidh atau bukan. Wanita semacam ini hendaknya berdiam diri pada hari-hari umumnya masa haid, yaitu eman atau tujuh hari di setiap bulan. Karena itulah masa kebanyakan wanita haidh. Hal ini berdasarkan sabda rasulullah –shalallahu ‘alaihi wasallam- kepada Hammah binti Jahsy:


إِنَّمَا هِيَ رُقْضَةٌ مِنَ الشَّيْطَانِ. فَتَحَيَّضِيْ سِتَّةَ أَيَّامٍ أَوْ سَبْعَةَ أَيَّامٍ ثُمَّ اغْتَسِلِيْ. فَإِذَا اسْتَنْفَأْتِ فَصَلِّيْ أَرْبَعَةً وَعِشْرِيْنَ أَوْ ثَلَاثَةً وَعِشْرِيْنَ, وَ صُوْمِيْ وَصَلِّيْ, فَإِنَّ ذلِكِ يُجْزِئُكِ, وَكَذلِكِ فَافْعَلِيْ كَمَا تَحِيْضُ النِّسَاءُ. رواه خمسة. وصححه الترميذي.


“Sesungguhnya  istihadhah itu tak lain adalah gangguan syetan. Maka berlakulah sebagaimana orang haidh selama enam atau tujuh hari, kemudian mandilah. Jika kamu telah suci, lakukanlah shalat selama dua puluh empat atau dua puluh tiga hari, dan puasalah serta shalatlah (baik fardhu maupun sunnah). Hal itu sah dan cukup bagimu. Demikianlah lakukan (setiap bulan) sebagaimana halnya wanita haidh”.
Kesimpulannya, bahwa wanita yang mengenali kebiasaan masa haidhnya, harus merujuk kepada kebiasaannya. Wanita yang dapat membedakan jenis darah haidh atau bukan, harus mengikuti pengalamannya itu. Sedang wanita yang tidak mengenali kebiasaan masa haihnya  dan tidak pula dapat membedakan jenis darahnya yang keluar, ia harus menentukan sendiri untuk masa haidhnya enam atau tujuh hari. Ini merupakan pemaduan antar ketiga ajaran sunnah Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wasallam- tentang wanita yang mengalami istihadhah.
Syaikhul Islam Ibn Taimiyah –rahimahullah- berkata: “tanda-tanda haidh yang disebutkan dan dipedomani oleh para ulama ada enam:
Pertama: Kebiasaan. Kebiasaan inilah tanda yang terkuat. karena, pokok masalah yang harus dititik beratkan adalah haidh itu sendiri, bukan lainnya.
Kedua: Pembedaan jenis darah. Karena, darah kehitam-hitaman dan kental lagi berbau tak sedap adalah lebih layak disebut darah haidh ketimbang darah merah segar.
Ketiga: Mengikuti kebiasaan umumnya wanita. Karena, kaidah yang menjadi pedoman adalah, mengelompokkan sesuatu yang sendirian kepada yang lebih umum dan lebih banyak. Ketiga tanda ini memiliki dasar as-Sunnah dan akal”.
Selanjutnya Ibn Taimiyah menyebutkan tanda-tanda yang lain yang disebut oleh peara ulama fiqih.
   Penulis kitab an-Nihayah menyebutkan: “pendapat yang terbenar adalah memedomani tanda tanda yang ada pada as-Sunnah dan tidak usah menganggap tanda-tanda selain itu.
Apa yang Harus Dilakukan oleh Wanita yang Mengalami Istihadhah Manakala Dihukumi Suci.
a)  Ia wajib mandi pada akhir masa haidh yang diperkirakannya itu, seperti yang telah dijelaskan diatas
b)  Ia harus membasuh farj (vagina)-nya untuk menghilangkan cairan yang keluar. Hal itu harus dilakukan setiap menjelang akan shalat. Hendaknya ia meletakkan kapas atau semacamnya (pembalut) di vagina itu yang dapat menahan cairan yang keluar dan membalutkan pembalut yang menahannya agar tidak terlepas. Kemudian berwudhu saat masuk waktu shalat. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wasallam- tentang wanita yang sedang istihadhah:


تَدَعُ الصَّلَاةَ أَيَّامَ أَقْرَائِهَا ثُمَّ تَغْتَسِلُ وَتَتَوَضَّأُ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ. رواه أبو داود وابن ماجه والترميذ وقال حديث حسن.


“Ia (wanita yang sedang istihadhah itu) agar meninggalkan shalat pada hari-hari haidhnya, kemudian mandi dan berwudhu pada setiap akan shalat”.
Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:



أَنْعَتُّ لَكِ الْكُرْسُفَ تَخُشِيْنَ بِهِ الْمَكَانَ 

.
“Aku jelaskan kepadamu kapas semacam ini untuk kamu gunakan sebagai penyumbat tempat (vagina) itu.
Dapat juga menggunakan bahan-bahan pembalut khusus yang mudah didapat sekarang.
(Dikutip dari kitab "Tanbihaat al Ahkaam Takhtassu bil Mu'minat" oleh DR.Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, edisi indonesia Sentuhan Nilai Kefikihan untuk Wanita Beriman hlm.39-44)

2 Responses to "Hukum-hukum yang Berkaitan dengan Istihadhah"

Anonim mengatakan...

apa hanya sekedar berwudu saja seperti shalat wajib biasanya?
ataw harus mandi dan berwudu setiap akn shalat, dan shalatnya ( misal : mandi kemudian shalat zuhurnya diakhirkan mendekati masuk shalat ashar,,akn tetapi tidak dijamak, sehingga setelah shalat zuhur ada adzan shalat ashar langsung shalat ashar) benarkah demikian ust?

abuzaid mengatakan...

Jumhur (mayoritas) para ulama mengatakan bahwa seorang yang istihadhah hanya diwajibkan untuk berwudhu' saja setiap kali ingin shalat, berdasarkan sabda Rasulullah-shallallahu alaihi wasallam-kepada Fathimah binti Abi Hubaisy dalam riwayat Ibnu Majah:
ثم توضئي لكل صلاة
"...kemudian wudhu'lah setiap kali akan shalat"(Shahih Ibnu Majah no.507).
Adapun mandi setiap kali ingin shalat maka hukumnya sunnah saja tidak wajib, dalil tentang hal ini adalah hadits Ummu Habibah dalam Shahih al-Bukhari (326), Muslim (334):
فكانت تغتسل لكل صلاة
".....Maka Ummu Habibahpun mandi setiap kali ingin shalat".
Jumhur ulama mengatakan:"Tidak ada riwayat shahih tentang wajibnya wanita istihadhah untuk mandi setiap kali ingin shalat, adapun hadits Ummu Habibah di atas adalah murni pendapat Ummu Habibah saja, Nabi-shallallahu alaihi wasallam-hanya menyuruh Ummu Habibah untuk mandi bersih di awal saja (ketika dia baru suci dari haidh) sebagaimana ditunjukkan oleh riwayat-riwayat yang shahih".(Taisirul Allam 1/120).
adapun cara yang anda sebut yaitu melakukan apa yang dinamakan para ulama jama' shuri (mengakhirkan shalat dzhur ke awal shalat ashar, mengakhirkan shalat maghrib ke awal isya') lalu mandi ketika mau shalat ini juga sunnah saja (tidak wajib seperti ini) dilakukan oleh wanita istihadhah, berdasarkan riwayat shahih dari Abu Dawud; bahwa ada seorang perempuan yang tertimpa istihadhah di zaman Rasulullah, maka iapun diperintah untuk mempercepat waktu shalat ashar dan menunda shalat dzuhur (dilakukan di awal ashar) lalu mandi sekali saja untuk shalat itu, menunda maghrib dan mempercepat Isya dan mandi sekali saja untuk shalat itu, dan mandi untuk shalat subuh".(Shahih Abu Dawud no.273).

Posting Komentar

Pertanyaan dan komentar, akan kami balas secepatnya-insyaallah-.