Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin –rahimahullah-pernah mendapat pertanyaan:
Apa yang menjadi barometer/tolak ukur dalam
permasalahan larangan tasyabbuh/menyerupakan
diri dengan orang kafir?
Beliau
lantas menjawab:”Menyerupai orang kafir (yang dilarang itu) bisa terjadi pada
penampilan, pakaian, cara makan dan lain sebagainya, karena tasyabbuh
(menyerupakan diri) adalah kata yang maknanya luas. Yang dimaksud menyerupai
orang kafir (yang dilarang itu) adalah melakukan hal yang menjadi ciri khas
orang kafir sehingga siapa saja yang melihatnya akan langsung mengatakan bahwa
orang yang dilihat adalah orang kafir. Inilah barometernya.
Adapun
sesuatu yang telah tersebar luas di tengah-tengah orang muslim dan orang kafir
maka melakukannya itu diperbolehkan meskipun pada asalnya budaya itu berasal
dari orang kafir, tentu dengan syarat hal tersebut tidak terlarang secara
khusus dalam syari’at, semisal memakai pakaian dari sutra.
Dalam
Fathul Baari (1/307), Ibnu Hajar-rahimahullah-mengatakan:”Seandainya
kita katakan bahwa larangan memakai al-Mayatsiir al-Urjuwan (sejenis
pakaian) adalah karena menyerupai orang ajam (non Arab yang kafir) maka
larangan tersebut karena faktor agama. Akan tetapi pakaian tersebut merupakan simbol
mereka ketika mereka adalah orang kafir, kemudian tatkala sekarang hal itu
tidak lagi menjadi simbol orang kafir, maka alasan untuk melarang memakai
pakaian tersebut tidak ada lagi, sehingga hukum makruh memakainya tidak berlaku
lagi”[1].
0 Response to "Tolak Ukur Permasalahan Larangan Menyerupai (Tasyabbuh) dengan Orang Kafir "
Posting Komentar
Pertanyaan dan komentar, akan kami balas secepatnya-insyaallah-.