Para Ulama Menggugat Dzikir Jama'i (Bag.II)

Pendapat Para Imam Madzhab Tentang Dzikir Jama’i
1.  Madzhab as-Syafi’i
Imam as-Syafi’i dalam al-Umm berkata:


وأختار للإمام والمأموم أن يذكرا الله بعد الانصراف من الصلاة, ويخفيان الذكر إلا أن يكون إماماً يجب أن يُتعلم منه فيجهر حتى يرى أنه قد تُعُلِّم منه ثم يُسِرُّ فإن الله عز وجل يقول: (ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت بها) يعني- والله تعالى أعلم- الدعاء, ولا تجهر: ترفع, ولا تخافت: حتى لا تسمع نفسك.


“Pendapat yang saya pegang bahwasanya imam dan makmum hendaknya berdzikir kepada Allah setelah selesai shalat, dan hendaknya berdzikir dengan suara pelan (bukan dengan mengeraskan suara), kecuali apabila imam ingin mengajrkan (makmum) maka dia mengeraskan suara, jika makmum sudah bisa maka hendaknya dia berdzikir dengan sauar sirr, karena Allah berfirman:


ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت بها


Janganlah kalian mengeraskan suara dengan shalat maksud shalat di sini-Allahu a’lam-do’a  kalian dan jangan pula dengan suara yang terlalu kecil sampai engkau tidak memperdengarkan kepada diri sendiri”[1].
Imam an-Nawawi as-Syafi’I -rahimahullah- berkata:


يندب الذكر والدعاء عقيب كل صلاة ويسر به, فإذا كان إماماً يريد أن يعلمهم جهر,

فإذا تعلموا أسر.


“Disunnahkan berdzikir dan berdo’a setelah setiap shalat dan dengan suara sirr, namun jika dia imam dan ingin mengajarkan orang maka dengan suara keras, apabila mereka telah mengetahui hendaknya (imam itu) membaca dengan suara sirr”[2].
2. Madzhab Hanafi
Imam Ala’uddin al-Kasani menceritakan perkataan Imam Abu Hanifah -rahimahullah-, beliau (Abu Hanifah) mengatakan:


أن رفع الصوت بالتكبير بدعة في الأصل, لأنه ذكر, والسنة في الأذكار المخافتة, لقوله تعالى: ادعوا ربكم تضرعاً وخفية. ولقوله-صلى الله عليه وسلم-: ((خير الدعاء الخفي)). ولذا فإنه أقرب إلى التضرع والأدب, وأبعد عن الرياء فلا يترك هذا الأصل, إلا عند قيام الدليل المخصص.


“Mengangkat suara untuk bertakbir pada hakekatnya adalah bid’ah, karena takbir itu adalah dzikir, dan (cara) yang disunnahkan dalam berdzikir adalah dengan suara lirih, karena Allah berfirman:


ادعوا ربكم تضرعاً وخفية


“Berdo’alah kepada Rabbmu dengan rendah diri dan suara yang lembut”.(al-A’raf:55).
Dan juga berdasarkan sabda Rasulullah -shallallahu alaih wasallam-


خير الدعاء الخفي


“Sebaik-baik do’a adalah yang diucapkan dengan lirih”[3]. 
Karena berdo’a (dan berdzikir) dengan suara lirih/sirr lebih mendekati kepada kerendahan diri dan lebih menjauhkan dari ria’, maka kita tidak boleh meninggalkan ka’idah asal ini (berdo’a dan berdzikir dengan suara lirih) kecuali ada dalil yang mengkhususkan”[4].
Al-Allamah al-Mubarakfuri berkata:


اعلم أن الحنفية في هذا الزمان, يواظبون على رفع الأيدي في الدعاء بعد كل مكتوبة مواظبة الواجب, فكأنهم يرونه واجباً, ولذلك ينكرون على من سلم من الصلاة المكتوبة وقال: اللهم أنت السلام ومنك السلام, تباركت يا ذا الجلال والإكرام. .  ثم قام ولم يدع ولم يرفع يديه, وصنيعهم هذا مخالف لقول إمامهم الإمام أبي حنيفة, وأيضاً مخالف لما في كتبهم المعتمدة.


“Ketahuilah bahwasanya pengikut madzhab hanafi di zaman ini, merutinkan untuk mengangkat tangannya ketika berdo’a setelah selesai shalat fardhu seolah itu perkara wajib, memang sepertinya mereka memandang perkara itu wajib, oleh karena itu mereka mengingkari orang yang salam dari shalat fardhu lalu mengucapkan: “Allahumma antas salam wa minkas salam, tabarakta ya dzal jalali wal ikraam…”lalu setelah dia (berdzikir) dia beranjak dan tidak berdo’a dan tidak mengangkat tangannya, perbuatan mereka (mengingkari ini) adalah bertentangan dengan perkataan imam mereka yaitu Imam Abu Hanifah, juga bertentangan dengan apa yang terdapat pada kitab-kitab induk mereka”[5].
3.  Madzhab Maliki
Syaikh Muhammad bin Ahmad Miyarah al-Maliki berkata:


كره مالك وجماعة من العلماء لأئمة المساجد والجماعات الدعاء عقيب الصلوات المكتوبة جهراً للحاضرين


“Imam Malik dan beberapa ulama tidak menyukai bagi imam masjid dan jama’ahnya berdo’a dengan suara keras setelah shalat fardhu (dipimpin imam) untuk orang yang hadir di situ”[6].
Ibnul Haaj al-Maliki mengatakan:


المشروع إنما هو أن يكبر كل إنسان لنفسه ولا يمشي على صوت غيره


“Yang disyari’atkan adalah setiap orang mengucap takbir sendiri-sendiri tidak dengan mengikuti ucapan orang lain (tidak dengan satu suara)”[7].
As-Syatibi -rahimahullah- berkata:


أما الذكر على صوت واحد فليس في نقل الشريعة ما يدل عليه


“Adapun berdzikir dengan satu suara (serempak) maka tidak ada dalam syari’at dalil yang menunjukkan tentang (dibolehkannya)”[8].
4.  Madzhab Hambali
Syakhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang berdo’a setelah shalat, maka beliau menyebutkan beberapa hadits dari Nabi -shallallahu alaihi wasallam- tentang dzikir-dzikir yang hendaknya diucapkan setelah shalat fardhu, lalu beliau berkata:


وأما دعاء الإمام والمأمومين جميعاً عقيب الصلاة فلم ينقل هذا أحد عن النبي-صلى الله عليه وسلم-.


“Adapun imam dan makmum berdo’a bersama-sama (dipimpin imam) maka tidak ada seorangpun yang menceritakan kita bahwa Nabi -shallallahu alaihi wasallam-pernah melakukannya”[9].


[1] Al-Umm karya Imam as-Syafi’I (1/11).
[2] Kitab “at-Tahqiq” karya Imam an-Nawawi (hlm.219), Miskul Khitam (hlm.137-141).
[3] HR.Ahmad “al-Musnad” (3/44), Abu Ya’la dalam Musnadnya (2/81) (731), al-Haitsami dalam “al-Majma’ (10/81), al-Haitsami berkata:”Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Ya’la, pada perawinya ada Muhammad bin Abdurrahman bin Labib, dikatakan tsiqah oleh Ibnu Hibban…namun didha’ifkan oleh Ibnu Ma’in adapun para perawinya yang lain adalah para perawi hadits shahih.
[4] Bada’ius Shana’i’ (1/196).
[5] Tuhfatul Ahwadzi Syarah al-Jaami’ lit Tirmidzi (1/246).
[6] Ad-Durrus Tsamin (hlm.173,212).
[7] Al-Madkhal 2/285
[8] Al-Mi’yarul Mu’rib (11/114).
[9] Majmu’ Fatawa (22/515).

0 Response to "Para Ulama Menggugat Dzikir Jama'i (Bag.II)"

Posting Komentar

Pertanyaan dan komentar, akan kami balas secepatnya-insyaallah-.