Dibolehkan
bagi orang yang bepergian jauh/musafir untuk berbuka (tidak berpuasa), hal
inilah yang dipegang oleh madzhab fiqh yang empat, hanafi[1],
maliki[2],
syafi’i[3]
dan hambali[4],
bahkan sebagian ulama mengatakan para ulama telah ijma’ tentang masalah ini.[5]
Dan
jika tetap berpuasa memberatkan bagi orang yang musafir itu maka berbuka jauh
lebih afdhal baginya, hal ini disepakati oleh madzhab fiqh yang empat, karena
memilih sesuatu yang memberatkan padahal ada rukhsah (kemudahan) adalah
sikap yang seolah-olah menolak kemudahan yang diberikan Allah-azza wa jalla-.[6]
Dalil
dari al-Qur’an
Firman
Allah-ta’ala-:
فَمَن
كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Barangsiapa yang sakit atau musafir di antara kalian (lalu ia
berbuka) maka (hendaknya mengganti puasanya itu) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu di hari-hari yang lain.(al-Baqarah : 184).
Dalil dari as-Sunnah
Di antaranya adalah hadits Anas bin Malik-radiallahu anhu-,
Rasulullah-shallallahu alaihi wasallam- bersabda:
إن
الله وضع عن المسافر الصوم، وشطر الصلاة
“Sesungguhnya Allah meletakkan (tidak mewajibkan) orang yang
musafir untuk puasa dan meletakkan darinya setengah shalat.”(HR.Ahmad,
at-Tirmidzi dan lainnya dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi).
Hukum
Berbuka Bagi Musafir yang Tidak Mengalami Kesulitan Jika Tetap Puasa
Apabila
seorang musafir melakukan safar lalu dia tidak mengalami kesulitan untuk tetap
berpuasa atau antara tetap berpuasa dan berbuka adalah sama baginya, maka
manakah yang lebih baik, tetap berpuasa atau berbuka saja? Para ulama berbeda
pendapat dalam masalah ini:
Pendapat
pertama: Tetap berpuasa adalah lebih
afdhal, karena tetap berpuasa lebih cepat menggugurkan kewajiban, juga
seseorang itu lebih mudah dan ringan berpuasa bersama orang-orang dari pada
berpuasa sendiri (ketika dia meng-qada’ nanti). Inilah pendapat yang dipegang
oleh mayoritas ulama hanafiyah[7],
malikiyah[8], syafi’iyah[9]
dan Syaikh Ibnu Utsaimin[10]-rahimallahul
jamii’-.
Dalil
dari al-Qur’an
Keumuman
firman Allah-ta’ala-:
وَأَن
تَصُومُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan
kalian berpuasa itu jauh lebih baik bagi kalian jika kalian
mengetahui.”(al-Baqarah: 184).
Dalil
dari as-Sunnah
Di
antaranya adalah hadits Abu Darda’:
كنا
مع النبي- صلَّى الله عليه وسلَّم- في رمضان في يومٍ شديدِ الحر , حتى إن أحدنا
ليضع يده على رأسه من شدة الحر, وما فينا صائمٌ إلا رسول الله -صلَّى الله عليه
وسلَّم-, وعبد الله بن رواحة.
“Dahulu kami pernah (musafir) bersama
Rasulullah-shallallahu alaihi wasallam-di bulan Ramadhan pada hari yang
sangat panas, saking panasnya, sampai-sampai ada di antara kami yang menaruh
tangannya di atas kepalanya, dan tidak ada orang yang masih puasa di antara
kami selain Rasulullah dan Abdullah bin Rawahah.”(al-Bukhari no.1945, Muslim
no.1122).
Kejadian
ini terjadi ketika Rasulullah melakukan safar sebagaimana dikatakan oleh Ibnu
Hajar-rahimahullah-[11],
dan yang dilakukan oleh Rasulullah dalam keadaan seperti ini adalah tetap
berpuasa dan tentu saja yang lebih afdhal adalah memilih apa yang dilakukan
oleh Rasulullah yaitu tetap berpuasa dari pada berbuka, apalagi jika kondisi
seseorang itu kuat dan mampu berpuasa dalam safarnya itu.[12]
Pendapat
kedua: Berbuka (tidak berpuasa) lebih
afdhal, inilah pendapat madzhab hambali[13],
sebagian sahabat[14],
Ibnu Taimiyah[15]
dan juga Syaikh Abdul Aziz bin Baaz[16]
dan inilah yang pendapat yang lebih kuat dan rajih-insyaallah-, karena
tidak berpuasa adalah rukhsah (kemudahan) yang diberikan Allah bagi seorang
yang sedang musafir, sedangkan Allah sangat suka diambil rukhsah-Nya,
Rasulullah bersabda dalam riwayat Ibnu Abbas:
إِنَّ
اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ
“Sesungguhnya
Allah suka apabila rukhsah-Nya diambil, sebagaimana Dia benci jika seseorang
mendatangi perbuatan maksiat kepada-Nya.”(HR.Ahmad, al-Arnauth mengatakan:”shahih,”
dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih al-Jaami’ no.1886).
Apalagi
dalam hal ini terdapat dalil khusus yaitu sabda Rasulullah-shallallahu
alaihi wasallam-dalam hadits Jabir bin Abdillah-radiallahu anhuma-:
كان
رسول الله- صلى الله عليه وسلم- في سفر , فرأى زحاماً ورجلاً قد ظُلِّلَ عليه, فقال:
ما هذا؟ فقالوا: صائم, فقال: ليس من البر الصوم في السفر.
“Pernah Rasulullah-shallallahu alaihi
wasallam-dalam suatu perjalanan, beliau melihat kerumunan orang dan melihat
ada seorang laki-laki yang dipayungi, beliau lantas bertanya:”Kenapa orang ini?(Mengapa
dia lemas dan dipayungi?) Mereka menjawab:”Dia puasa,” maka Rasulullah-shallallahu
alaihi wasallam-bersabda:”Bukan termasuk kebaikan berpuasa ketika musafir.”(al-Bukhari
no.1946, Muslim no.1115).
[1]
Al-Bahrur Ra’iq oleh Ibnu Nujaim : 2/304, Tabyinul Haqa’iq oleh az-Zaila’I :
1/333.
[2]
Ats-Samrud Daani oleh al-Azhari hlm:305, Hasyiatul Adawi ala Kifayatit Thalib
ar-Rabbani : 1/453.
[3]
Al-Majmu’ oleh an-Nawawi : 6/260-261, Raudhatut Thalibin :2/370.
[4]
Al-Inshaf oleh al-Mardawi : 3/203, Kasysaful Qina’ oleh al-Bahuti : 2/311.
[5]
Al-Mughni : 3/12, Ibnu Qudamah-rahimahullah-mengatakan:”Bagi orang yang
musafir dibolehkan tidak berpuasa pada bulan Ramadhan dan lainnya berdasarkan
apa yang ditunjukkan al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijma’”, lihat pula
Raudhatut Thalibin : 2/369, at-Tamhid oleh Ibnu Abdil Barr : 9/67.
[6]
As-Syarhul Mumti’ : 6/344.
[7]
Al-Bahrur Ra’iq : 2/304
[8]
Al-Kaafi oleh Ibnu Abdil Barr : 1/337
[9]
Al-Majmu an-Nawawi : 6/261
[10]
Majmu Fatawa wa Rasa’il Ibnu Utsaimin : 19/136.
[11]
Fathul Baari : 4/182
[12]
As-Syalbi mengatakan:”Maka dari sini kita mengetahui bahwa puasa (bagi orang
musafir yang tidak mengalami kesulitan itu lebig afdhal) karena itulah pilihan
Rasulullah-shallallahu alaihi wasallam-.”(Tabyinul Haqa’iq wa Hasyiatus Syalbi
: 1/333).
[13]
Al-Inshaf oleh al-Mardawi : 3/204, Kasysaful Qina’ : 2/311.
[14]
Ibnu Abdil Bar mengatakan:”Diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas bahwa
mengambil rukhsah adalah lebih afdhal dan inilah pendapat yang dipegang ole
Ibnul Musayyib, as-Sya’bi, Muhammad bin Abdul Aziz, Mujahid, Qatadah,
al-Auza’I, Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin Rahawaih, mereka semua mengatakan
bahwa berbuka itu lebih afdhal berdasarkan firman Allah:
يريد
الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر
“Allah
menginginkan kemudahan bagi kalian dan tidak menginginkan
kesualitan.”(al-Baqarah: 185).(at-Tamhiid: 2/171).
[15]
Majmu’ Fatawa : 22/336
[16] Majmu’
Fatawa Ibn Baaz : 15/237
0 Response to "Hukum Seputar Berpuasa Bagi Orang Musafir (1)"
Posting Komentar
Pertanyaan dan komentar, akan kami balas secepatnya-insyaallah-.