Dia
Ibnu Rusyd adalah Abul Waliid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin
Ahmad bin Rusyd al-Hafiid al-Andalusy al-Qurtuby al-Maliky.
Lahir
tahun 520 H di kota Cordova, terlahir dari keluarga ulama, lahir sebelum
meninggalnya sang kakek (Ibnu Rusy al-Jadd).[1]
Ada
dua person sebenarnya yang memiliki sebutan/nama terkenal Ibnu Rusyd, yaitu Ibnu Rusyd
al-Hafiid (yang sedang dibahas biografinya) dan Ibnu Rusyd al-Jadd (yang
merupakan kakek dari Ibnu Rusyd al-Hafiid), keduanya juga memiliki kunyah yang
sama yaitu Abul Waliid dan keduanya juga sama-sama pernah menjadi hakim tinggi
di kota Cordova Andalusia. Perbedaannya, adapun Ibnu Rusyd al-Hafid maka sangat
mendalami ilmu filsafat adapun Ibnu Rusyd al-Jadd tidak pernah bergumul dengan
ilmu Filsafat.
Komentar
Para Ulama Tentang Ibnu Rusyd al-Hafid
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah-rahimahullah-berkata tentang Ibnu Rusyd al-Hafid:”Ibnu Sina
dan mereka yang sejenis dengannya, ketika mereka itu mengetahui bahwa hadits
Rasulullah-shallallahu alaihi wasallam-tidak cocok dengan metode-metode
filsafat ini, merekapun menempuh metode takhyiil (khayalan), seraya mengatakan
bahwa: Nabi sebenarnya saat itu berbicara kepada mayoritas orang (orang awam)
dengan metode yang mereka fahami, padahal yang diinginkan sebenarnya bukan
seperti itu. Maka mereka-mereka itu seolah-olah mengatakan bahwa para Rasul itu
berdusta untuk suatu maslahat, dan ini juga metode yang diambil oleh Ibnu Rusyd
dan yang semisal dengannya dari kalangan orang-orang bathiniyah.”[2]
Di
tempat lain, beliau mengatakan:”Orang ini (Ibnu Rusyd) termasuk orang yang
paling menggandrungi perkataan-perkataan Aristoteles.”[3]
Az-Zirikli
berkata tentangnya: “Ibnu Rusyd adalah Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin
Ahmad bin Ahmad bin Rusyd, ahli filsafat Abul Waliid, salah seorang penduduk
Cordova.
Sangat
doyan dengan pendapat-pendapat Aristoteles, karangan-karangan Aristoteles dia
terjemahkan dan dia tambahkan dengan tambahan-tambahan yang banyak.”[4]
Ibnu
Hamawaih berkata:”Aku memasuki negeri, lalu aku bertanya tentang keberadaan
Ibnu Rusyd, maka ada yang mengatakan kepadaku:”Dia jadi tahanan rumah atas
perintah khalifah Ya’quub, tidak boleh ada seorangpun yang boleh menemuinya,
karena dilaporkan bawa dia memiliki pendapat-pendapat yang kotor, dia meninggal
dalam keadaan ditahan di Marakkis.”[5]
Sekilas
Aqidah Ibnu Rusyd
Sebelumnya
kami ingin mengutip ucapan Dr.Khalid Kabiir Ilal tentang sebab ketergelinciran
Ibnu Rusyd dalam berbagai masalah aqidah:”Ibnu Rusyd tidak memberikan perhatian
yang layak kepada as-Sunnah sebagai sumber syari’at Islam yang asasi setelah
al-Qur’an, tidak memakainya secara lebih luas dalam kitab-kitab filsafatnya, begitu
banyak hadits yang berhubungan dengan tema yang dia bicarakan telah ia lewatkan
begitu saja, walaupun kadang dia memakai hadits-hadits itu, namun banyak di antaranya
ia fahami dengan pemahaman yang tidak benar, dan memaksakan agar hadits itu tunduk
kepada metode takwilnya semata-mata agar sesuai dengan pemikiran Aristoteles.”[6]
·
Keyakinan
bahwa ada makna zahir dan batin dalam syari’at
Ibnu
Rusyd mengatakan:”Syari’at itu dibagi menjadi 2 bagian: Zahir dan mu’awwal
(yang ditakwil), yang zahir inilah kewajiban mayoritas manusia, adapun yang
ditakwil ini kewajiban para ulama, adapun mayoritas orang adalah memahaminya
berdasarkan zahir saja dan tidak boleh mereka takwil, dan sama sekali tidak
boleh bagi para ulama secara terbuka memberi tahukan pentakwilan itu kepada
orang-orang pada umumnya.”[7]
Oleh
karena itu Syaikhul Islam banyak membantah secara meluas pemikiran seperti ini
dalam kitab-kitab beliau di antaranya daam “Dar’u Ta’arud al-Aql wa an-Naql”
begitu juga dalam “Bayan Talbiis al-Jahmiyah”.
·
Hanya
kebangkitan ruh saja
Dalam
masalah kebangkitan setelah mati di hari kiamat, Ibnu Rusyd condong kepada
pendapat para tokoh filsafat, bahwa yang dibangkitkan hanya ruh saja, bahkan
Ibnu Rusyd lebih jauh lagi terperosok, beliau mengatakan bahwa masalah ini
adalah masalah ijtihad, dia mengatakan:
“Yang
benar dalam masalah ini adalah bahwasanya kewajiban setiap orang adalah
memegang apa yang menjadi hasil ijtihadnya.”[8]
[1]Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid (Kairo: Darul Hadits, 2004), 6.
[2]Ibnu
Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 19/157.
[3]
Ibnu Taimiyah, Bayan Talbis al-Jahmiyah, 1/120.
[4]
Az-Zirikly, al-A’laam.
[5]Az-Dzahabi,
Siar A’lam an-Nubala’, 21/307-310
[6]
Dr.Khalid Kabiir, Naqdu Fiqr al-Failasuf Ibnu Rusyd, 97.
[7] Al-Kasyf
an Manahij al-Adillah, cet.Markaz Dirasaat Wihdah al-Arabiyah, 99.
[8] Al-Kasyf
an Manahij al-Adillah, cet.Markaz Dirasaat Wihdah al-Arabiyah, 204.
0 Response to "Ibnu Rusyd al-Hafiid"
Posting Komentar
Pertanyaan dan komentar, akan kami balas secepatnya-insyaallah-.