Hingar
bingar pemilu telah terdengar di berbagai tempat dan media, apa yang disebut ”pesta
demokrasi” sebagai ajang memilih pemimpin di negara-negara demokrasi, pemilu
yang telah menyihir sekian banyak orang menjadi kontestan dan calon pemimpin dengan
harapan bisa menduduki kursi panas yang konon “empuk”, tidak terkecuali
para tokoh-tokoh perempuan, bahkan disebuah acara, salah seorang dari tokoh
perempuan ini mengatakan: “Pemimpin perempuan jauh lebih baik”. Lalu ia mengajukan
berbagi argumen empirik pengalam pemimpin perempuan, Pembahasan tentang boleh
tidaknya perempuan memangku jabatan “Imamah Udzma” (semacam
presiden, perdana menteri atau raja)
adalah sebuah masalah yang seluruh ulama Islam telah sepakat akan keharamannya.
قال
البغوي-رحمه الله-:اتفقوا على أن المرأة لا تصلح أن تكون إماما...لأن الإمام يحتاج
إلى الخروج لإقامة أمر الجهاد والقيام بأمور المسلمين...والمرأة عورة لا تصلح
للبروز.
“al-Bagawi-rahimahullah- berkata:”(Para ulama)
telah sepakat bahwasanya perempuan tidak boleh menjadi pemimpin…karena seorang
pemimpin butuh untuk keluar semisal untuk menegakkan jihad, mengurus
kemaslahatan kaum muslimin…sedangkan perempuan adalah aurat, tidak boleh sering
keluar menampakkan diri”.[1]
قال
ابن حزم-رحمه الله-:ولا يجوز الأمر لغير بالغ ولا مجنون, ولا امرأة...
“Ibnu Hazm-rahimahullah- berkata:”Tidak boleh jadi pemimpin
orang yang belum balig atau orang gila, dan tidak boleh pula perempuan…”[2]
قال الإمام الحرمين الجويني:أجمعوا على أن المرأة لا تكون إماما
“Imam al-Haramain al-Juwaini berkata:”Mereka (para ulama)
sepakat bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin”.[3]
وقال
الشيخ الشنقيطي-رحمه الله-:من شروط الإمام الأعظم كونه ذكرا ولا خلاف في ذلك بين
العلماء
“Syaikh as-Syinqiti-rahimahullah-berkata:”Di
antara syarat pemimpin tertinggi negara adalah dia harus laki-laki, dan tidak
ada perbedaan pendapat dalam masalah ini di kalangan ulama”.[4]
Dan
seperti itulah yang berjalan dan terjadi sejak zaman Rasulullah, namun pada
hari ini muncullah beberapa gelintir mereka yang disebut ulama menyelisihi
ijma’ (kesepakatan ulama) ini dan membolehkan perempuan menjadi presiden,
perdana menteri, menteri ataupun raja[5].
Dalil-dalil
Haramnya Perempuan Menjadi Pemimpin
Dari al-Qur’an
Allah-ta’ala-berfirman:
اَلرِّجَالُ
قَوَّامُوْنَ عَلىَ النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلىَ بَعْضٍ
وَبِمَا أَنْفَقُوْا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dank
arena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka”.(QS:an-Nisa:34).
Ayat
di atas menunjukkan kelebihan seorang laki-laki dari perempuan yang membuatnya
jauh lebih berhak menjadi pemimpin dari pada perempuan:
1.
Sifat
kuat badan, ketegasan, akal yang lebih serta kesempurnaan pikiran yang dimiliki
oleh laki-laki yang jarang ada pada perempuan, dan ini adalah karunia Allah
yang tidak bisa dirubah, Allah berfirman:
وَلاَ
تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلىَ بَعْضٍ
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
terhadap sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain”.(an-Nisa’:32).
2.
Laki-lakilah
yang wajib memberi nafkah kepada istri, begitu juga laki-laki wajib memberi
mahar kepada istrinya, ini semata-mata datang dari Allah, Dzat yang maha tahu
keadaan hamba-Nya, dan ini adalah penghormatan bagi wanita bukan penghinaan:
وَلاَ
يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
“Dan Rabbmu tidak menzalimi seorangpun”.(QS:al-Kahfi:49).
Ibnu
Katsir-rahimahullah-berkata dalam menafsirkan ayat di atas (an-Nisa:34):
اَلرِّجَالُ
قَوَّامُوْنَ عَلىَ النِّسَاءِ
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum
wanita”. Maksudnya laki-laki adalah qayyim atas wanita, (qayyim)
maksudnya ketua, pembesar, pemimpinnya dan pembimbingnya apabila bengkok.
بِمَا
فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلىَ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوْا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Oleh
karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang
lain (wanita)”. Maksudnya karena laki-laki lebih afdhal dari pada perempuan, dan
laki-laki jauh lebih baik dari pada perempuan, oleh karena itu para nabi hanya
berasal dari laki-laki, begitu juga pemimpin tertinggi (hanya dari laki-laki)”.[6]
Al-Qurtubi-rahimahullah-mengatakan:
أي
يقومون بالنفقة عليهن والذب عنهن, وأيضا فإن فيهم الحكام والأمراء ومن يغزو, وليس
ذلك في النساء
“Maksudnya bahwasanya kaum laki-laki yang
wajib memberi nafkah kepada kaum wanita dan membela mereka, juga para pemimpin,
penguasa serta prajurit perang dari laki-laki semua, bukan dari kaum
perempuan”.[7]
Ar-Raazi-rahimahullah-berkata:
فاعلم
أن الفضائل الحقيقية يرجع حاصلها إلى أمرين: إلى العلم وإلى القدرة, ولا شك أن
عقول الرجال وعلومهم أكثر, ولا شك أن قدرتهم على الأعمال الشاقة أكمل, فلهذين
السببين حصلت الفضيلة للرجال على النساء في العقل والحزم و...وإن منهم الأنبياء
والعلماء وفيهم الإمامة الكبرى والصغرى, والجهاد والأذان والخطبة...
“Maka ketahuilah bahwasanya keutamaan yang
sebenarnya kembali kepada dua perkara: Ilmu dan kemampuan, dan tidak diragukan
lagi bahwa akal dan ilmu kaum laki-laki jauh banyak (disbanding perempuan), tidak
diragukan pula bahwa kemampuan kaum laki-laki mengerjakan pekerjaan yang berat
jauh lebih sempurna, oleh karena itu, dengan dua sebab pokok ini kaum laki-laki
diberi kelebihan, baik dalam masalah akal, ketegasan dst…dan para nabi, para
ulama, pemimpin tinggi maupun rendah, prajurit yang berjihad juga khatib
berasal dari kaum laki-laki”.[8]
Serta
tafsir-tafsir senada dari para ulama ahlus sunnah lainnya terhadap ayat ini,
sebagimana-jauh-jauh hari sebelumnya-telah ditafsirkan oleh ahli tafsir mumpuni
dari kalangan sahabat yaitu Ibnu Abbas-radiallahu anhuma-, beliau
berkata:
قوله (الرجال قوامون على النساء) يعني أمراء,عليها أن تطيعه فيما
أمرها الله به من طاعته
“Firman Allah-ta’ala-:
الرجال قوامون على النساء
“Kaum
laki-laki adalah “qawwamuun” atas kaum wanita” maksudnya (qawwamuun)
adalah pemimpin, yang wajib ditaati oleh kaum wanita jika mereka (kaum
laki-laki) memerintah dengan ketaatan kepada Allah”.[9]
Dalam
ayat yang lain,Allah-ta’ala-berfirman:
وَلَهُنَّ
مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
“Dan para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan
tetapi para suami mempunyai satu tingkat kelebihan daripada
istrinya”.(QS:al-Baqarah:228).
Di
dalam ayat ini Allah memperingati dari apa yang berlaku di zaman jahiliyah,
yaitu kaum perempuan tidak diperhatikan dan dilecehkan, maka Allah menjelaskan
bahwa kaum wanita mempunyai hak kemanusiaan yang sama dengan laki-laki, seperti
hak mereka untuk diperlakukan dengan baik dan mulia dalam rumah tangga, akan
tetapi tetap saja kaum laki-laki mempunya satu derajat lebih tinggi dari kaum
wanita yaitu derajat Qiwamah/Qawwamuun yaitu kepemimpinan (sebagaimana
dalam ayat sebelumnya).[10]
Dalam
ayat lain Allah-ta’ala-berfirman:
إِنَّ
اللهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ
“Sesungguhnya
Allah telah memilih (Thalut) sebagai rajamu, dan menganugrahi ilmu yang luas
dan tubuh yang perkasa”.(QS:al-Baqarah:247).
Pada
ayat ini Allah menjelaskan kriteria yang harus terpenuhi pada seorang pemimpin,
alkisah, ketika Bani Isra’il menolak kepemimpinan Thaluut, mereka mengatakan:
Thaluut tidak berhak menjadi pemimpin karena dia bukan dari keturunan raja, dia
juga orang miskin tidak mempunyai harta benda, maka Allahpun menjelaskan bahwa
dia berhak menjadi raja karena dua perkara: karena kelebihan yang ada pada
dirinya berupa kelebihan ilmu, serta kekutan fisik yang dia miliki, ayat ini
menjadi dalil bahwasanya kepemimpinan ummat diberikan kepada orang yang
mempunyai ilmu yang luas, dan kuat fisiknya agar bisa mengemban beban tanggung
jawab yang berat.[11]
Dalam
ayat yang lain Allah-ta’ala-berfirman:
وَقَرْنَ
فِيْ بُيُوْتِكُنَّ
“Dan hendaklah kalian(kaum perempuan) menetap
di rumah kalian”.(QS:al-Ahzab:33).
Dalam
ayat ini Allah memerintahkan istri-istri Rasulullah untuk menetap di rumah dan
tidak keluar dari rumahnya kecuali karena keperluan yang mendesak, dan hukum
ini bukan hanya berlaku bagi istri-istri Nabi, akan tetapi berlaku umum bagi
seluruh perempuan kaum muslimin.[12]
Al-Qurtubi
dalam menafsirkan ayat ini berkata:”Makna ayat ini, bahwasanya perempuan
diperintah untuk menetap di dalam rumahnya, walaupun pembicaraan tertuju kepada
istri-istri Nabi-shallallahu alaihi wasallam-akan tetapi seluruh kaum
muslimat juga masuk di dalamnya dari segi makna ayat, di samping dalil-dalil
khusus yang menyatakan perintah ini bagi kaum muslimat, dan syari’at ini berisi
banyak dalil yang memerintahkan wanita untuk tetap tinggal di rumahnya, serta
tidak perlu keluar rumahnya kecuali karena perkara darurat saja”.[13]
Dari
Hadits Rasulullah-shallallahu alaihi wasallam-
Dari Abu
Bakrah-radiallahu anhu- beliau berkata:
لَمَّا بَلَغَ رَسُوْلَ اللهِ-صلى الله عليه وسلم-أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ
قَدْ مَلَّكُوْا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ: لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا
أَمْرَهُمْ اِمْرَأَةً
“Ketika kabar mengenai rakyat Persia yang
mengangkat putri Kisra[14]
sebagai raja mereka, Rasulullah bersabda:”Tidak akan beruntung kaum yang
mengangkat perempuan sebagai pemimpin mereka”.[15]
Hadits
ini adalah dalil yang jelas dan gamblang mengenai tidak bolehnya perempuan
menjadi pemimpin, karena pada hadits ini Rasulullah-shallallahu alaihi
wasallam-mengabarkan tentang tidak beruntungnya kaum yang mengangkat
perempuan sebagai pemimpin mereka, ketidak beruntungan ini tentu saja adalah
kemudharatan, sedangkan sesuatu yang mendatangkan madharat wajib dihindari,
maka haram mengangkat perempuan sebagai pemimpin karena menyebabkan madharat
yang wajib dihindari.[16]
Hadits
ini juga umum mencakup seluruh kaum, seluruh suku bangsa, karena sebagaimana
dalam ilmu Ushul Fiqh lafadz )
قوم ( “nakirah fi
siaqin nafyi” –isim nakirat pada kalimat peniadaan- yang mempunyai makna
keumuman, begitu juga lafadz امرأة (perempuan) mencakup seluruh perempuan yang
menjadi pemimpin, maka setiap kaum, setiap negara baik negara itu negara muslim
atau negara kafir, negara yang berhukum dengan hukum Islam, atau negara
demokrasi dan seterusnya lalu mengangkat perempuan sebagai pemimpinnya maka negara/kaum
itu tidak akan beruntung berdasarkan
hadits Rasulullah yang mulia di atas [17].
Al-Khattabi
berkata:
في
الحديث أن المرأة لا تلي الإمارة ولا القضاء
“Dalam hadits di atas ada dalil bahwasanya
perempuan tidak boleh menjadi pemimpin dan hakim”.[18]
As-Syaukani
berkata:
فيه
دليل على أن المرأة ليست من أهل الولايات, ولا يحل لقوم توليتها لأن تجنب الأمر
الموجب لعدم الفلاح واجب
“Dalam hadits ini ada dalil bahwasanya
perempuan bukan orang yang berhak menjadi pemimpin, dan haram bagi sekelompok kaum
mengangkat perempuan sebagai pemimpinnya, karena menghindari perkara yang
menyebabkan ketidak beruntungan/kerugian adalah wajib”.[19] Allahu
A’lam.
Kehidupan
Sengsara Bagi Mereka yang Menentang Perintah Allah dan Rasul
Allah-ta’ala
berfirman:
ومن أعرض عن ذكري فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
“Barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta”.(QS:Thaha:124)
Ibnu Katsir-rahimahullah-berkata dalam menafsirkan ayat ini:
((ومن أعرض عن ذكري)), أي خالف أمري وما أنزلته على رسولي, أعرض عنه وتناساه وأخذ من غيره هداه,(( فإن له معيشة ضنكاً أي ضنكا)) في الدنيا, فلا طمأنينة له ولا انشراح لصدره, بل صدره ضيق حرج لضلاله, وإن تنعم ظاهره ولبس ما شاء وأكل ما شاء وسكن حيث شاء, فإن قلبه ما لم يخلص إلى اليقين والهدى فهو في قلق وحيرة وشك, فلا يزال في ريبة يتردد فهذا من ضنك المعيشة
“Barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku” maksudnya barangsiapa yang menyelisihi perintah-Ku dan menyelisihi syari’at yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku, lalu dia berpaling dan melupakannya serta mengambil aturan lain, “maka baginya kehidupan yang sempit”, yaitu kehidupan sempit di dunia, maka hatinya tidak pernah tenang dan tidak akan merasakan kelapangan dada, justru dia akan merasakan kesempitan disebabkan kesesatannya, walaupun engkau melihat ia zahirnya bergembira, memakai pakaian mewah yang ia inginkan, memakan makanan istimewa yang ia mau, akan tetapi selama hatinya tidak mendapat petunjuk dan keyakinan maka selama itu pula hatinya berada di dalam kecemasan dan kebingungan, senantiasa ditimpa keraguan, inilah yang dimaksud kehidupan yang sempit”.[20]
[1] Syarhus
Sunnah 10/77
[2] Al-Muhalla
1/66
[3]
Al-Irsyad hlm.427
[4] Adhwa’ul
Bayan 1/127
[5]
Untuk melihat lebih jauh tentang ijma’ ini lihat:
Raudatut Thalibin 10/42
Asnal Mathalib 4/108
Mughnil Muhtaj 4/130
Kasyful Qina’ 6/159
Al-Mughni 9/39
Fathul Qadir oleh as-Syaukani 1/460
Tafsir Ibn Katsir 1/465
[6] Tafsir
Ibnu Katsir 1/465
[7] Al-Jaami’
li Ahkamil Qur’an 5/168
[8] At-Tafsirul
Kabiir 10/88
[9] Jaami’ul
Bayaan 8/290
[10]
Lihat Jaami’ul Bayan 2/454, Madarikut Tanziil 1/147, Tafsir
Ibn Katsir 1/255.
[11] Ruuhul
Ma’ani 2/167, Madarikut Tanziil 1/163, at-Tafsiirul Kabiir
6/174.
[12] Al-Jaami’
li Ahkamil Qur’an 14/178, Tafsir Ibnu Katsir 3/464
[13] Al-Jaami’
li Ahkamil Qur’an 14/179.
[14]
Putri Kisra ini bernama Buraan binti Syirwaih bin Kisra, ketika Syirwaih
berhasil membunuh bapaknya maka dia yang langsung memegang tampuk pimpinan yang
ditinggalkan mendiang bapaknya, akan tetapi tidak lama dia berkuasa diapun
terbunuh akibat perebutan kekuasaan di negeri itu, maka rakyat Persia mengangkat
putri Syirwaih sebagai pengganti bapaknya, agar kepemimpinan tidak diemban
kecuali oleh keturunan Kisra saja (Fathul Baari 7/735).
[15]
HR.al-Bukhari kitab “al-Maghazi” no.4425,kitab”al-Fitan” no.2365,
at-Tirmidzi kitab “al-Fitan” bab 64 no.2365, an-Nasa’I 8/200 kitab”Aadabul
Qudaat”, al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Qubra 3/90, 10/117, al-Hakim
dalam”al-Mustadrak” 3/118/119.
[16] Nailul
Authar 8/274, Nidzhamul Qada’ fil Islam hlm.28.
[17] Ibnu
Qudamah wa Atsaruhul Ushuliyah bagian kedua hlm.33, al-Ihkam fi Ushulil
Ahkam 2/220.
[18] Fathul
Baari 7/735, Tuhfatul Ahwadzi 6/542
[19]
Nailul Authar 8/274
[20] Tafsiir
Ibnu Katsiir 3/159
0 Response to "Pemimpin Perempuan Lebih Baik?"
Posting Komentar
Pertanyaan dan komentar, akan kami balas secepatnya-insyaallah-.