Fatwa-fatwa Wanita (Syaikh al-Albani-rahimahullah-)

fatwa syaikh albani tentang wanita
So’al:Seorang wanita telah suci dari darah nifas, lalu selang beberapa hari ada lagi darah yang keluar, apakah darah ini dianggap darah istihadah[1] atau bukan?
Jawab:Jika wanita itu telah melewati masa nifas yang terpanjang yaitu 40 hari, maka tidak diragukan lagi bahwa darah yang keluar itu adalah darah istihadah bukan darah nifas. Namun jika jika ia merasa telah suci sebelum 40 hari, maka sangat mungkin ia keliru. Dalam kondisi demikian hendaknya ia melihat jenis darah yang keluar, jika warnanya hitam seperti darah haid dan nifas, maka ia kembali seperti semula (maksudnya:nifasnya berarti belum selesai), dia harus meninggalkan shalat dan puasa, serta ibadah-ibadah lain yang dilarang agama (bagi orang yang nifas dan haid).

So’al: Seorang wanita yang mempunyai hutang puasa Ramadhan yang ditinggalkannya karena haidh, sekarang ini ia sedang hamil dan belum mengqadha/membayar puasa tersebut, sementara bulan Ramadhan yang akan datang sudah dekat, sehingga dia tidak dapat mengqadha’nya kecuali sesudah bulan Ramadhan berikutnya, apakah yang harus dia lakukan?
Jawab:Jika ia mampu mengqada’ puasa Ramadhan yang wajib baginya seusai Ramadhan tersebut, itulah yang semestinya ia lakukan. Yang jelas ia segera melepaskan dirinya dari kewajiban itu. Namun jika ia wafat sebelum sempat melaksanakan dan membebaskan dirinya dari kewajiban itu maka wajib baginya mewasiatkan (kepada walinya) untuk membayar kaffarah (fidyah), adapun jika ia tidak hamil dan tidak pula menyusukan anak, sedang ia mempunyai kewajiban mengganti puasa Ramadhan yang ditinggalkan karena haidh, maka wajib baginya untuk mengqadha’. Jika belum sempat mengqadha’nya lalu dia hamil dan menyusui anak, maka diperbolehkan baginya untuk menunda qadha’nya (walupun sudah datang Ramadhan berikutnya) tanpa membayar fidyah atau kaffarah.[2]

So’al:Seorang wanita hamil tidak berpuasa pada pertengahan bulan Ramadhan, ia melaksanakan yang diberikan kepadanya berdasarkan hadits Rasulullah-shallallahu alaihi wasallam-:


إن الله وضع الصوم عن الحمل والمرضع


“Sesungguhnya Allah meletakkan (tidak mewajibkan) puasa bagi wanita hamil dan menyusui”.
Dengan niat tidak akan mengqadha’ tetapi hanya akan membayar fidyah saja sebagaimana fatwa dari Abdullah bin Abbas. Pada pertengahan kedua Ramadhan ia mengalami nifas, karena melahirkan bayinya yang tentunya ia diharamkan berpuasa selama masa nifas tersebut. Apakah wajib baginya mengqadha’ puasa yang ditinggalkannya karena nifas? Jika ia menanggap dirinya sebagai orang yang menyusui anak pada masa nifas, apakah gugur kewajiban mengqadha’ puasa yang ditinggalkan karena nifas berdasarkan hadits di atas?
Jawab: Jika bertepatan dengan nifasnya, ia menyusui bayinya, maka jawabannya “sebagaimana tidak diwajibkan baginya mengqadha’ ketika hamil, demikian pula ketika ia menyusui ia hanya wajib membayar fidyah”[3].

So’al:Apakah boleh seorang wanita menjadi qadhi (hakim)?
Jawab: Tidak boleh seorang wanita menjadi qadhi. Barangsiapa beranggapan bahwa kehakiman atau pengadilan sebagai pemberitaan hukum syari’at berarti ia telah berbuat suatu pelecehan. Karena pengadilan lebih banyak perannya dari sekedar memberikan fatwa. Tidak setiap orang memberi fatwa statusnya sebagai hakim, demikian sebaliknya tidak setiap qadhi statusnya sebagai pemberi fatwa. Terkadang makna keduanya menyatu. Sesungguhnya seorang qadhi sama dengan seorang hakim, ia diperintahkan untuk melaksanakan fatwa, sedangkan seorang pemberi fatwa tidak memiliki kekuasaan untuk melaksanakan fatwanya. Dan sungguh Rasulullah-shallallahu alaihi wasallam-telah mengabarkan, bahwa suatu kaum yang mengangkat seorang wanit untuk mengurusi urusan mereka, tidak akan beruntung sebagimana dalam shahih al-Bukhari dari hadits Abu Bakrah[4].

So’al: Pada sebagian masjid wanita melakukan shalat berjama’ah di lantai dasar atau lantai atas, sehingga terkadang kami (para wanita) shalat dengan mengikuti imam yang tidak nampak oleh pandangan kami,bahkan para makmum laki-lakipun tidak nampak. Terkadang ada pula masjid yang memiliki ruang shalat untuk laki-laki yang luas sehingga masih terdapat tempat kosong yang tidak terisi.
Apakah shalat yang kami lakukan (tanpa melihat gerakannya imam atau gerakannya makmum yang ada di belakangnya itu sah?, bahkan terkadang kami masuk masjid tanpa mengetahui pada rakaat keberapakah sang imam itu shalat?. Dalam kondisi seperti ini bisakah kita hanya mengikuti pengeras suara?. Dan apakah sah shalat kami di lantai atas atau bawah,padahal pada masjid tersebut terkadang masih terdapat tempat yang kosong untuk diisi?
Jawab: Jawaban pertanyaan ini dari dua sisi:
Shalat dalam kondisi demikian tetap sah, para wanita shalat di masjid baik di lantai atas maupun bawah, dan selama mereka mendengar takbir sang imam, ketika berpindah dari takbir ke ruku’, sujud dan seterusnya.
Tidak sepatutnya bagi para wanita melaksanakan shalat seperti disebutkan di atas, kecuali jika tempat shalat laki-laki telah penuh sesak dan mereka tidak mendapatkan tempat untuk membuat shaf pada bagian belakang shaf laki-laki. Dalam kondisi penuh sesak, dibolehkan bagi para wanita untuk melakukan shalat baik di lantai atas maupun bawah. Adapun jika mereka shalat di masjid yang mana di belakang shaff laki-laki masih ada tempat yang kosong di belakang shaf laki-laki, maka mereka tidak dibolehkan untuk naik ke lantai atas atau turun ke lantai bawah, lalu shalat tanpa melihat gerakan imam atau makmum yang mengikuti imam. Apa yang kami sebutkan di atas disebabkan dua hal:
Nabi-shallallahu alaihi wasallam-bersabda:



خير صفوف الرجال أولها وشرها آخرها وشرها آخرها وخير صفوف النساء آخرها وشرها أولها


“Sebaik-baik shaf laki-laki adalah shaf yang pertama dan sejelek-jeleknya adalah yang paling akhir, sebaik-baik shaf wanita adalah yang akhir dan sejelek-jeleknya adalah yang pertama”.
Makna yang dimaksud hadits ini menggambarkan lantai masjid yang digunakan Nabi dan para sahabatnya dalam melaksanakan shalat bersama beliau di sini, para wanita tidak berada di lantai atas atau bawah, lagipula sesuatu yang tersirat dari permasalahan ini bahwa, pengeras suara terkadang tidak terdengar atau rusak sehingga dapat menyebabkan shalat para wanita yang mengikuti imam dari lantai atas tanpa melihat para makmum yang shalat di belakang imam. Inti jawaban ini bahwa shalat yang dilakukan para wanita dengan sengaja melakukan shalat pada tempat tersebut selama masih ada keleluasaan pada tempat shalat kaum laki-laki, dan mereka mampu membuat shaf pada bagian belakang tempat tersebut[5].


[1] Darah yang keluar dari rahim wanita karena penyakit
[2] Diterjemahkan dari majalah al-Ashalah:15/16, hlm.119-120.
[3] Diterjemahkan dari majalah al-Ashalah:15/16, hlm.120
[4] Diterjemahkan dari majalah al-Ashalah:17 hlm.70
[5] Al-Ashalah 19 hlm.73-74.

0 Response to "Fatwa-fatwa Wanita (Syaikh al-Albani-rahimahullah-)"

Posting Komentar

Pertanyaan dan komentar, akan kami balas secepatnya-insyaallah-.