So’al:Seorang wanita telah suci dari darah nifas, lalu selang beberapa
hari ada lagi darah yang keluar, apakah darah ini dianggap darah istihadah[1]
atau bukan?
Jawab:Jika wanita itu telah melewati masa nifas yang terpanjang yaitu 40
hari, maka tidak diragukan lagi bahwa darah yang keluar itu adalah darah
istihadah bukan darah nifas. Namun jika jika ia merasa telah suci sebelum 40
hari, maka sangat mungkin ia keliru. Dalam kondisi demikian hendaknya ia
melihat jenis darah yang keluar, jika warnanya hitam seperti darah haid dan
nifas, maka ia kembali seperti semula (maksudnya:nifasnya berarti belum
selesai), dia harus meninggalkan shalat dan puasa, serta ibadah-ibadah lain
yang dilarang agama (bagi orang yang nifas dan haid).
So’al: Seorang wanita yang mempunyai hutang puasa Ramadhan yang
ditinggalkannya karena haidh, sekarang ini ia sedang hamil dan belum mengqadha/membayar
puasa tersebut, sementara bulan Ramadhan yang akan datang sudah dekat, sehingga
dia tidak dapat mengqadha’nya kecuali sesudah bulan Ramadhan berikutnya, apakah
yang harus dia lakukan?
Jawab:Jika ia mampu mengqada’ puasa Ramadhan yang wajib baginya seusai
Ramadhan tersebut, itulah yang semestinya ia lakukan. Yang jelas ia segera
melepaskan dirinya dari kewajiban itu. Namun jika ia wafat sebelum sempat
melaksanakan dan membebaskan dirinya dari kewajiban itu maka wajib baginya
mewasiatkan (kepada walinya) untuk membayar kaffarah (fidyah), adapun
jika ia tidak hamil dan tidak pula menyusukan anak, sedang ia mempunyai
kewajiban mengganti puasa Ramadhan yang ditinggalkan karena haidh, maka wajib
baginya untuk mengqadha’. Jika belum sempat mengqadha’nya lalu dia hamil dan
menyusui anak, maka diperbolehkan baginya untuk menunda qadha’nya (walupun
sudah datang Ramadhan berikutnya) tanpa membayar fidyah atau kaffarah.[2]
So’al:Seorang wanita hamil tidak berpuasa pada pertengahan bulan
Ramadhan, ia melaksanakan yang diberikan kepadanya berdasarkan hadits
Rasulullah-shallallahu alaihi wasallam-:
إن الله وضع الصوم عن الحمل والمرضع
“Sesungguhnya Allah meletakkan (tidak
mewajibkan) puasa bagi wanita hamil dan menyusui”.
Dengan
niat tidak akan mengqadha’ tetapi hanya akan membayar fidyah saja sebagaimana
fatwa dari Abdullah bin Abbas. Pada pertengahan kedua Ramadhan ia mengalami
nifas, karena melahirkan bayinya yang tentunya ia diharamkan berpuasa selama
masa nifas tersebut. Apakah wajib baginya mengqadha’ puasa yang ditinggalkannya
karena nifas? Jika ia menanggap dirinya sebagai orang yang menyusui anak pada
masa nifas, apakah gugur kewajiban mengqadha’ puasa yang ditinggalkan karena
nifas berdasarkan hadits di atas?
Jawab: Jika bertepatan dengan nifasnya, ia menyusui bayinya, maka jawabannya
“sebagaimana tidak diwajibkan baginya mengqadha’ ketika hamil, demikian pula
ketika ia menyusui ia hanya wajib membayar fidyah”[3].
So’al:Apakah boleh seorang wanita menjadi qadhi (hakim)?
Jawab: Tidak boleh seorang wanita menjadi qadhi. Barangsiapa beranggapan
bahwa kehakiman atau pengadilan sebagai pemberitaan hukum syari’at berarti ia
telah berbuat suatu pelecehan. Karena pengadilan lebih banyak perannya dari
sekedar memberikan fatwa. Tidak setiap orang memberi fatwa statusnya sebagai
hakim, demikian sebaliknya tidak setiap qadhi statusnya sebagai pemberi fatwa. Terkadang
makna keduanya menyatu. Sesungguhnya seorang qadhi sama dengan seorang hakim,
ia diperintahkan untuk melaksanakan fatwa, sedangkan seorang pemberi fatwa
tidak memiliki kekuasaan untuk melaksanakan fatwanya. Dan sungguh Rasulullah-shallallahu
alaihi wasallam-telah mengabarkan, bahwa suatu kaum yang mengangkat seorang
wanit untuk mengurusi urusan mereka, tidak akan beruntung sebagimana dalam
shahih al-Bukhari dari hadits Abu Bakrah[4].
So’al:
Pada sebagian masjid wanita melakukan shalat berjama’ah di lantai dasar atau
lantai atas, sehingga terkadang kami (para wanita) shalat dengan mengikuti imam
yang tidak nampak oleh pandangan kami,bahkan para makmum laki-lakipun tidak
nampak. Terkadang ada pula masjid yang memiliki ruang shalat untuk laki-laki
yang luas sehingga masih terdapat tempat kosong yang tidak terisi.
Apakah
shalat yang kami lakukan (tanpa melihat gerakannya imam atau gerakannya makmum
yang ada di belakangnya itu sah?, bahkan terkadang kami masuk masjid tanpa
mengetahui pada rakaat keberapakah sang imam itu shalat?. Dalam kondisi seperti
ini bisakah kita hanya mengikuti pengeras suara?. Dan apakah sah shalat kami di
lantai atas atau bawah,padahal pada masjid tersebut terkadang masih terdapat
tempat yang kosong untuk diisi?
Jawab:
Jawaban pertanyaan ini dari dua sisi:
Shalat
dalam kondisi demikian tetap sah, para wanita shalat di masjid baik di lantai
atas maupun bawah, dan selama mereka mendengar takbir sang imam, ketika
berpindah dari takbir ke ruku’, sujud dan seterusnya.
Tidak
sepatutnya bagi para wanita melaksanakan shalat seperti disebutkan di atas,
kecuali jika tempat shalat laki-laki telah penuh sesak dan mereka tidak
mendapatkan tempat untuk membuat shaf pada bagian belakang shaf laki-laki. Dalam
kondisi penuh sesak, dibolehkan bagi para wanita untuk melakukan shalat baik di
lantai atas maupun bawah. Adapun jika mereka shalat di masjid yang mana di
belakang shaff laki-laki masih ada tempat yang kosong di belakang shaf
laki-laki, maka mereka tidak dibolehkan untuk naik ke lantai atas atau turun ke
lantai bawah, lalu shalat tanpa melihat gerakan imam atau makmum yang mengikuti
imam. Apa yang kami sebutkan di atas disebabkan dua hal:
Nabi-shallallahu
alaihi wasallam-bersabda:
خير صفوف الرجال أولها وشرها آخرها وشرها آخرها وخير صفوف النساء
آخرها وشرها أولها
“Sebaik-baik shaf laki-laki adalah shaf yang
pertama dan sejelek-jeleknya adalah yang paling akhir, sebaik-baik shaf wanita
adalah yang akhir dan sejelek-jeleknya adalah yang pertama”.
Makna
yang dimaksud hadits ini menggambarkan lantai masjid yang digunakan Nabi dan
para sahabatnya dalam melaksanakan shalat bersama beliau di sini, para wanita
tidak berada di lantai atas atau bawah, lagipula sesuatu yang tersirat dari
permasalahan ini bahwa, pengeras suara terkadang tidak terdengar atau rusak
sehingga dapat menyebabkan shalat para wanita yang mengikuti imam dari lantai
atas tanpa melihat para makmum yang shalat di belakang imam. Inti jawaban ini
bahwa shalat yang dilakukan para wanita dengan sengaja melakukan shalat pada
tempat tersebut selama masih ada keleluasaan pada tempat shalat kaum laki-laki,
dan mereka mampu membuat shaf pada bagian belakang tempat tersebut[5].
0 Response to "Fatwa-fatwa Wanita (Syaikh al-Albani-rahimahullah-)"
Posting Komentar
Pertanyaan dan komentar, akan kami balas secepatnya-insyaallah-.