Permasalahan Shufrah, Kudrah dan al-Qus Shatul Baidha'

  Shufrah adalah sesuatu yang seperti nanah dan didominasi warna kuring.
 Kudrah adalah seperti warna air yang kotor, dan tidak menerupai salah satu dari warna-warna darah, atau seperti air yang bercamput dengan warna merah. Ia keluar semisal warna coklat pada umumnya.
Pertanyaan: dengan apa seorang wanita mengetahui masa sucinya?
1.     Dengan al-qushshatul baidha’ (lendir putih), yaitu cairan berwarna putih yang keluar karena teknan rahim pada saat darah haidh berhenti.
2.     Atau dengan jafaf (keringnya kemaluan), yaitu dengan memasukkan sapu tangan (tissue) maka ketika dikeluarkan, sapu tangan (tissue) tersebut tetap dalam keadaan kering.
Pengertian jafaf di sini adalah tidak ada lagi darah sedikitpun. Juga tidak ada shufrah dan kudrah,sebab kemaluan wanita tidak pernah terlepas dari kondisi basah secara umum.
Kaidah-kaidah dan permasalahan Shufrah, Kudrah dan al-Qishshatul Baidha’
1.  Shufrah dan Kudrah yang keluar pada masa haidh, maka ia termasuk haidh.
Misalnya: seorang wanita biasa haidh selama lima hari, lalu pada satu bulan tertentu atau seterusnya ia mengeluarkan darah selama dua hari, lalu pada hari hari ketiga keluar shufrah dan kudrah, kemudian dua hari teakhir keluar darah, maka berarti masa lima hari keseluruhannya adalah masa haidh.
2.  Shufrah dan kudrah jika bersambung dengan hari-hari haidh sebelum masa suci maka ia termasuk haidh.
Misalnya: seorang wanita mengalami haidh selama lima hari, lalu setelah itu keluar shufrah dan kudrah selama dua hari, lalu keluar lendir putih, maka itu berarti masa tujuh hari keseluruhannya adalah masa haidh.
3.  Shufrah dan kudrah tidak dianggap apa-apa setelah masa suci.
Misalnya: seorang wanita selesai dari haidh, lalu ia melihat tanda suci. Dan setelah itu ia mendapati shufrah dan kudrah, maka ini bukanlah haidh. Namun shufrah dan kudrah ketika itu dianggap sebagai istihadhah. Hendaknya ia berwudhu di setiap waktu shalat dan membersihkan pakaian yang terkena cairan tersebut.
Kaidah: Shufrah dan kudrah apabila terjadi pada masa haidh atau bersambung dengannya sebelum datangnya masa suci, maka ia dianggap sebagai haidh. Ummu ‘Athiyah –radhiallahu ‘anha- pernah berkata: “Kami tidak menganggap shufrah dan kudrah sebagai haidh setelah masa suci.”[1]
4.  Shufrah dan kudrah yang terjadi sebelum keluarnya darah atau terjadi pada masa haidh dengan disertai rasa sakit ketika haidh, atau ia datang sebelum keluarnya darah secara terus-menerus, maka dianggap sebagai haidh, dengan rincian sebagai berikut:
a)  . Jika shufrah dan kudrah keluarnya tersendat-sendat sebelum datangnya haidh dengan disertai rasa sakit ketika haidh, maka ia dianggap haidh.
Misalnya: jika seorang wanita melihat shufrah dan kudrah dalam jangka waktu satu hari atau dua hari ataupun tiga hari dengan disertai rasa sakit sebagaimana rasa sakit waktu haidh, lalu datang kepadanya haidh, maka tiga hari yang pertama sebelum haidh juga dianggap haidh.
b)  . Jika shufrah dan kudrah keluar secata terputus-putus sebelum masa haidh tanpa disertai rasa sakit waktu haidh, maka dihitung sebagai istihadhah.
c)   . Jika shufrah dan kudrah keluar terus-menerus hungga datangnya haidh, maka ia dianggap haidh.
Misalnya: Seorang wanita melihat shufrah dan kudrah selama tiga hari terus-menerus, lalu pada hari keempat ia mengalami haidh, maka tiga hari sebelumnya adalah haidh juga.
d). Jika shufrah dan kudrah keluar pada hari pertama haidh dengan disertai rasa sakit waktu haidh, maka dianggap haidh.
5. Keluarnya garis/benang tipis berwarna hitam pada cairan pada hari-hari pertama haidh dengan disertai rasa sakit, maka dianggap sebagai haidh dengan syarat keluarnya garis-garis/benang-benang tipis pada cairan itu secara terus-menerus dengan tidak ada masa kering. Adapun jika garis-garis/benang-benang tipi situ keluar, lalu berhenti, maka itu bukan haidh, sebab haidh itu tidak terjadi kurang dari sehari semalam sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
6. Jika seorang wanita melihat tanda suci berupa al-qushshatul baidha’ (lendir putih), lalu mengalam shufrah dan kudrah, lalu keluar al-qushshatul baidha, kemudian shufrah dan kudrah, maka al-qushshatul baidha’ (lendir putih) yang pertama adalah tanda masa suci.
7. Jika warna shufrah dan kudrah yang bersambung dengan haidh berubah secara perlahan-lahan dari warna coklat ke warna kuning, dan terjadi terus-menerus, maka hendaknya seorang wanita menunggu sampai ia melihat masa suci [keluarnya al-qushshatul baidha’(lendir putih) atau jafaf (keringnya kemaluan)].
Adapun jika meningkat kepada warna kuning akan tetapi berhenti, dan ia tidak melihatnya kecuali hanya sekali saja, misalnya dalam sehari, sedangkan keluarnya lendir putih mengalami keterlambatan, misalnya tiga hari, maka masa suci terjadi ketika awal melihat warna kuning.
Memeriksa Masa Suci
Sebagian Salaf mengatakan,”Bukan merupakan keharusan bagi seorang wanita untuk memeriksa masa sucinya di malam hari dan itu tidak aku sukai, sedangkan saat itu manusia tidak memiliki lampu, sebagaimana dikatakan oleh ‘Aisyah –radhiallahu ‘anha- dan selainnya. Akan tetapi yang harus baginya ialah melakukannya pada saat ingin tidur atau melakukan shalat shubuh dan hendaknya ia melihat pada waktu-waktu shalat. Mencari masa suci ketika malam hari bukan termasuk amalan orang-orang[2].


[1] Riwayat al-Bukhari dan Abu Daud, dan lafadz ini adalah miliknya dengan tambahan ini.
[2] Diambil dari “Qawa’id wa Masa’il fi Thaharatil Mar’ah al-Muslimah”,edisi Indonesia Wanita dan Thaharah hlm.17-21.

0 Response to "Permasalahan Shufrah, Kudrah dan al-Qus Shatul Baidha'"

Posting Komentar

Pertanyaan dan komentar, akan kami balas secepatnya-insyaallah-.