Pendapat
Para Imam Madzhab Tentang Dzikir Jama’i
1.
Madzhab as-Syafi’i
Imam
as-Syafi’i dalam al-Umm berkata:
وأختار للإمام والمأموم أن يذكرا الله
بعد الانصراف من الصلاة, ويخفيان الذكر إلا أن يكون إماماً يجب أن يُتعلم منه
فيجهر حتى يرى أنه قد تُعُلِّم منه ثم يُسِرُّ فإن الله عز وجل يقول: (ولا تجهر
بصلاتك ولا تخافت بها) يعني- والله تعالى أعلم- الدعاء, ولا تجهر: ترفع, ولا
تخافت: حتى لا تسمع نفسك.
“Pendapat yang saya pegang bahwasanya imam dan
makmum hendaknya berdzikir kepada Allah setelah selesai shalat, dan hendaknya
berdzikir dengan suara pelan (bukan dengan mengeraskan suara), kecuali apabila
imam ingin mengajrkan (makmum) maka dia mengeraskan suara, jika makmum sudah
bisa maka hendaknya dia berdzikir dengan sauar sirr, karena Allah
berfirman:
ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت بها
Janganlah
kalian mengeraskan suara dengan shalat maksud shalat di sini-Allahu a’lam-do’a
kalian dan jangan pula dengan suara yang
terlalu kecil sampai engkau tidak memperdengarkan kepada diri sendiri”[1].
Imam
an-Nawawi as-Syafi’I -rahimahullah- berkata:
يندب الذكر والدعاء عقيب كل صلاة ويسر
به, فإذا كان إماماً يريد أن يعلمهم جهر,
فإذا تعلموا أسر.
“Disunnahkan berdzikir dan berdo’a setelah
setiap shalat dan dengan suara sirr, namun jika dia imam dan ingin mengajarkan
orang maka dengan suara keras, apabila mereka telah mengetahui hendaknya (imam
itu) membaca dengan suara sirr”[2].
2. Madzhab
Hanafi
Imam
Ala’uddin al-Kasani menceritakan perkataan Imam Abu Hanifah -rahimahullah-,
beliau (Abu Hanifah) mengatakan:
أن رفع الصوت بالتكبير بدعة في الأصل,
لأنه ذكر, والسنة في الأذكار المخافتة, لقوله تعالى: ادعوا ربكم تضرعاً وخفية.
ولقوله-صلى الله عليه وسلم-: ((خير الدعاء الخفي)). ولذا فإنه أقرب إلى التضرع
والأدب, وأبعد عن الرياء فلا يترك هذا الأصل, إلا عند قيام الدليل المخصص.
“Mengangkat
suara untuk bertakbir pada hakekatnya adalah bid’ah, karena takbir itu adalah
dzikir, dan (cara) yang disunnahkan dalam berdzikir adalah dengan suara lirih,
karena Allah berfirman:
ادعوا ربكم تضرعاً وخفية
“Berdo’alah kepada Rabbmu dengan rendah diri
dan suara yang lembut”.(al-A’raf:55).
Dan
juga berdasarkan sabda Rasulullah -shallallahu alaih wasallam-
خير الدعاء الخفي
“Sebaik-baik do’a adalah yang diucapkan dengan
lirih”[3].
Karena
berdo’a (dan berdzikir) dengan suara lirih/sirr lebih mendekati kepada
kerendahan diri dan lebih menjauhkan dari ria’, maka kita tidak boleh
meninggalkan ka’idah asal ini (berdo’a dan berdzikir dengan suara lirih)
kecuali ada dalil yang mengkhususkan”[4].
Al-Allamah
al-Mubarakfuri berkata:
اعلم أن الحنفية في هذا الزمان,
يواظبون على رفع الأيدي في الدعاء بعد كل مكتوبة مواظبة الواجب, فكأنهم يرونه
واجباً, ولذلك ينكرون على من سلم من الصلاة المكتوبة وقال: اللهم أنت السلام ومنك
السلام, تباركت يا ذا الجلال والإكرام. .
ثم قام ولم يدع ولم يرفع يديه, وصنيعهم هذا مخالف لقول إمامهم الإمام أبي
حنيفة, وأيضاً مخالف لما في كتبهم المعتمدة.
“Ketahuilah bahwasanya pengikut madzhab hanafi
di zaman ini, merutinkan untuk mengangkat tangannya ketika berdo’a setelah
selesai shalat fardhu seolah itu perkara wajib, memang sepertinya mereka
memandang perkara itu wajib, oleh karena itu mereka mengingkari orang yang
salam dari shalat fardhu lalu mengucapkan: “Allahumma antas salam wa minkas
salam, tabarakta ya dzal jalali wal ikraam…”lalu setelah dia (berdzikir)
dia beranjak dan tidak berdo’a dan tidak mengangkat tangannya, perbuatan mereka
(mengingkari ini) adalah bertentangan dengan perkataan imam mereka yaitu Imam
Abu Hanifah, juga bertentangan dengan apa yang terdapat pada kitab-kitab induk
mereka”[5].
3.
Madzhab Maliki
Syaikh Muhammad bin Ahmad Miyarah
al-Maliki berkata:
كره
مالك وجماعة من العلماء لأئمة المساجد والجماعات الدعاء عقيب الصلوات المكتوبة
جهراً للحاضرين
“Imam Malik dan beberapa ulama tidak menyukai
bagi imam masjid dan jama’ahnya berdo’a dengan suara keras setelah shalat
fardhu (dipimpin imam) untuk orang yang hadir di situ”[6].
Ibnul
Haaj al-Maliki mengatakan:
المشروع إنما هو أن يكبر كل إنسان لنفسه ولا يمشي على صوت غيره
“Yang disyari’atkan adalah setiap orang
mengucap takbir sendiri-sendiri tidak dengan mengikuti ucapan orang lain (tidak
dengan satu suara)”[7].
As-Syatibi -rahimahullah- berkata:
أما الذكر على صوت واحد فليس في نقل الشريعة ما يدل عليه
“Adapun berdzikir dengan satu suara (serempak)
maka tidak ada dalam syari’at dalil yang menunjukkan tentang (dibolehkannya)”[8].
4.
Madzhab Hambali
Syakhul
Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang berdo’a setelah shalat, maka beliau
menyebutkan beberapa hadits dari Nabi -shallallahu alaihi wasallam- tentang
dzikir-dzikir yang hendaknya diucapkan setelah shalat fardhu, lalu beliau
berkata:
وأما دعاء الإمام والمأمومين جميعاً
عقيب الصلاة فلم ينقل هذا أحد عن النبي-صلى الله عليه وسلم-.
“Adapun imam dan makmum berdo’a bersama-sama (dipimpin imam) maka
tidak ada seorangpun yang menceritakan kita bahwa Nabi -shallallahu alaihi
wasallam-pernah melakukannya”[9].
[1]
Al-Umm karya Imam as-Syafi’I (1/11).
[2]
Kitab “at-Tahqiq” karya Imam an-Nawawi (hlm.219), Miskul Khitam
(hlm.137-141).
[3]
HR.Ahmad “al-Musnad” (3/44), Abu Ya’la dalam Musnadnya (2/81) (731), al-Haitsami
dalam “al-Majma’ (10/81), al-Haitsami berkata:”Diriwayatkan oleh Ahmad
dan Abu Ya’la, pada perawinya ada Muhammad bin Abdurrahman bin Labib, dikatakan
tsiqah oleh Ibnu Hibban…namun didha’ifkan oleh Ibnu Ma’in adapun para perawinya
yang lain adalah para perawi hadits shahih.
[4] Bada’ius
Shana’i’ (1/196).
[5] Tuhfatul
Ahwadzi Syarah al-Jaami’ lit Tirmidzi (1/246).
[6] Ad-Durrus
Tsamin (hlm.173,212).
[7] Al-Madkhal
2/285
[8] Al-Mi’yarul
Mu’rib (11/114).
[9] Majmu’
Fatawa (22/515).
0 Response to "Para Ulama Menggugat Dzikir Jama'i (Bag.II)"
Posting Komentar
Pertanyaan dan komentar, akan kami balas secepatnya-insyaallah-.