Ada
pertanyaan berbunyi:”Berapa jarak perjalanan yang membolehkan seseorang untuk
mengqasar shalat, tidak berpuasa (bulan Ramadhan) dan rukhsah musafir lainnya?
Jumhur
ulama meneyebutkan bahwa jarak perjalanan (safar) yang membolehkan seseorang
untuk mengqasar shalat atau tidak berpuasa adalah 48 mil.
Ibnu
Qudamah-rahimahullah-berkata dalam kitab “al-Mughni”:
مَذْهَبُ
أَبِي عَبْدِ اللَّهِ (يعني الإمام أحمد) أَنَّ الْقَصْرَ لا يَجُوزُ فِي أَقَلِّ
مِنْ سِتَّةَ عَشَرَ فَرْسَخًا, وَالْفَرْسَخُ: ثَلاثَةُ أَمْيَالٍ, فَيَكُونُ
ثَمَانِيَةً وَأَرْبَعِينَ مِيلا, وَقَدْ قَدَرَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ, فَقَالَ: مِنْ
عُسْفَانَ إلَى مَكَّةَ, وَمِنْ الطَّائِفِ إلَى مَكَّةَ, وَمِنْ جُدَّةَ إلَى
مَكَّةَ... وَهَذَا قَوْلُ ابْنِ
عَبَّاسٍ وَابْنِ عُمَرَ, وَإِلَيْهِ ذَهَبَ مَالِكٌ, وَاللَّيْثُ,
وَالشَّافِعِيُّ.
“Madzhab Abu Abdillah (Imam Ahmad) bahwasanya
tidak boleh meng-qasar (shalat) pada jarak yang kurang dari 16 farsakh,
sedangkan satu farsakh adalah: 3 mil, maka (jarak perjalanan yang membolehkan
meng-qasar sahalat) adalah: 48 mil, Ibnu Abbas memperkirakannya seraya
mengatakan:”Dari Usfan menuju ke Makkah, dari Tha’if ke Makkah, dari Jedah ke
Makkah”…Inilah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan ini pula yang dipegang oleh
Malik, al-Laits dan as-Syafi’i.
Dalam
hitungan kilometer 48 mil yaitu: +80 kilometer.
Jarak ini terhitung mulai dari tempat berakhirnya gedung-gedung atau bangunan-bangunan kota tempat tinggalnya (pinggiran kota).(Lihat: Tuhfatul Muhtaaj: 2/370, al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah: 27/270).
Jarak ini terhitung mulai dari tempat berakhirnya gedung-gedung atau bangunan-bangunan kota tempat tinggalnya (pinggiran kota).(Lihat: Tuhfatul Muhtaaj: 2/370, al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah: 27/270).
Syaikh
Abdul Aziz bin Baz-rahimahullah-mengatakan:
الذي
عليه جمهور أهل العلم أن ذلك يقدر بنحو ثمانين كيلو تقريبا بالنسبة لمن يسير في
السيارة, وهكذا الطائرات, وفي السفن والبواخر, هذه المسافة أو ما يقاربها تسمى
سفرا, وتعتبر سفرا في العرف فإنه المعروف بين المسلمين, فإذا سافر الإنسان على
الإبل, أو على قدميه, أو على السيارات, أو على الطائرات, أو المراكب البحرية, هذه
المسافة أو أكثر منها فهو مسافر.
“Pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama
bahwa (jarak perjalanan yang disebut musafir) adalah + 80 Km bagi yang
melakukan perjalanan memakai mobil, pesawat juga perahu atau kapal laut, jarak
ini (+ 80 Km) yang disebut safar (musafir), ini juga yang disebut safar
dalam urf (adat kebiasaan) kaum muslimin, apabila seseorang melakukan
safar dengan memakai unta, berjalan kaki, memakai mobil, pesawat, atau memakai
kapal laut, jarak ini (+ 80 Km) sudah disebut musafir”[1].
Al-Lajnah
ad-Da’imah (Komisi Tetap untuk Fatwa KSA) ditanya tentang jarak yang membolehkan seseorang untuk meng-qasar
shalatnya dan apakah seorang sopir yang menempuh perjalanan 300 km boleh
meng-qasar shalatnya?
Maka
al-Lajnah ad-Da’imah menjawabnya:
مقدار
المسافة المبيحة للقصر ثمانون كيلو متر تقريبا على رأي جمهور العلماء, ويجوز لسائق
سيارة الأجرة أو غيره أن يصليها قصرا, إذا كان يريد قطع المسافة التي ذكرناها في
أول الجواب أو أكثر منها.
“Ukuran jarak yang membolehkan untuk
meng-qasar shalat adalah + 80 km menurut mayoritas ulama, dan boleh bagi
seorang sopir dan selainnya untuk melakukan shalat dengan cara qashar, jika dia
ingin menempuh jarak yang kami sebutkan di awal jawaban kami atau jarak yang
lebih jauh dari itu (sebagaimana dalam pertanyaan yaitu 300 km)[2].
Namun
sebagian ulama berpendapat bahwa jarak seseorang disebut musafir itu tidak
dibatasi jarak tertentu, semua dikembalikan kepada urf (adat kebiasaan), apa
yang disebut oleh masyarakat sebagai musafir maka itu dinamakan musafir yang
membolehkannya untuk meng-qasar shalat dan mendapatkan rukhsah safar yang
lainnya.
Ibnu
Taimiyah-rahimahullah-mengatakan:
وَالْحُجَّةُ
مَعَ مَنْ جَعَلَ الْقَصْرَ وَالْفِطْرَ مَشْرُوعًا فِي جِنْسِ السَّفَرِ وَلَمْ
يَخُصَّ سَفَرًا مِنْ سَفَرٍ, وَهَذَا الْقَوْلُ هُوَ الصَّحِيحُ.
“Dalil berpihak kepada mereka yang membolehkan
qasar dan tidak berpuasa pada semua jenis safar/musafir (yang disebut musafir
oleh urf (adat kebiasaan masyarakat setempat), tidak dikhususkan
perjalanan (safar) dengan jarak tertentu, ini adalah pendapat yang benar”[3].
Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin-rahimahullah-ditanya tentang jarak
perjalanan yang membolehkan seseorang meng-qasar shalat dan apakah boleh
menjama’ saja tanpa meng-qasar?
Beliau
lantas menjawab:
المسافة
التي تقصر فيها الصلاة حددها بعض العلماء بنحو ثلاثة وثمانين كيلو مترا, وحددها
بعض العلماء بما جرى به العرف أنه سفر وإن لم يبلغ ثمانين كيلو مترا, وما قال
الناس عنه: إنه ليس بسفر, فليس بسفر ولو بلغ مائة كيلو متر.
وهذا
الأخير هو اختيار شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله, وذلك لأن الله تعالى لم يحدد
مسافة معينة لجواز القصر وكذلك النبي صلى الله عليه وسلم لم يحدد مسافة معينة.
وقال
أنس بن مالك رضي الله عنه: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَ ثَلاثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ ثَلاثَةِ فَرَاسِخَ
صَلَّى رَكْعَتَيْنِ.
وقول
شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله تعالى أقرب إلى الصواب. ولا حرج عند اختلاف العرف
فيه أن يأخذ الإنسان بالقول بالتحديد, لأنه قال به بعض الأئمة والعلماء المجتهدين,
فلا بأس به إن شاء الله تعالى, أما مادام الأمر منضبطا فالرجوع إلى العرف هو
الصواب.
“Jarak
perjalanan yang membolehkan seseorang untuk meng-qasar shalatnya dibatasai oleh
sebagian ulama yaitu sejauh + 83 km, sebagian ulama lain membatasai
dengan berpegang kepada urf (adat kebiasaan masyarakat) walaupun tidak
mencapai 80 km, maka jika dikatakan oleh manusia: (perjalanan ini) bukan
termasuk safar/musafir, maka itu bukanlah safar/musafir walaupun telah mencapai
100 km.
Pendapat
terakhir inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah-rahimahullah-,
karena Allah tidak membatasi jarak tertentu sehingga seseorang boleh
meng-qasar, begitu juga halnya Nabi-shallallahu alaihi wasallam-tidak
membatasi jarak tertentu.
Anas
bin Malik mengatakan:
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَ
ثَلاثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ ثَلاثَةِ فَرَاسِخَ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ
“Kebiasaan
Rasulullah-shallallahu alaihi wasallam-apabila beliau keluar menempuh
jarak perjalanan 3 mil atau 3 farsakh beliau shalat 2 raka’at (meng-qasar
shalat)[4].
Pendapat
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah lebih mendekati kepada kebenaran, (namun)tidak
mengapa ketika terjadi perbedaan urf seseorang memegang pendapat yang
membatasi, karena ini dipegang oleh beberapa imam serta beberapa ulama
mujtahid, sikap ini tidak masalah-insyaalah-, adapun jika keadaannya biasa
(tidak terjadi perbedaan urf), maka kembali kepada urf merupakan
sikap yang benar”[5].
0 Response to "Jarak Perjalanan Seseorang Dikatakan Musafir"
Posting Komentar
Pertanyaan dan komentar, akan kami balas secepatnya-insyaallah-.