Para Ulama Menggugat Dzikir Jama'i (Bag.I)

Sekilas Keutamaan Berdzikir Kepada Allah


Dzikir merupakan ibadah mulia yang dengannya seorang muslim akan mendapatkan pahala berlipat dan diangkat derajatnya di sisi Allah, banyak dalil-dalil dari al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah yang menunjukkan anjuran dan perintah melakukan ibadah yang satu ini:
Allah -ta’ala-berfirman:


وَالذَّاكِرِيْنَ اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيْمًا


“Laki-laki dan perempuan yang banyak berdzikir kepada Allah, Allah telah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar”.(QS.al-Ahzab:35).
Allah -ta’ala- juga berfirman:


يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا كَثِيْرًا


“Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, sebanyak-banyaknya.(QS.al-Ahzab:41).
Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda:


مَثَلُ الَّذِيْ يَذْكُرُ رَبَّهُ وَاَّلذِيْ لَا يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ


“Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Rabbnya dan yang tidak berdzikir kepada-Nya adalah laksana orang yang hidup dengan orang yang mati”[1].
Dari sahabat Abu Hurairah -radiallahu anhu- dia berkata:


كَانَ رَسُوْلُ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَسِيْرُ فِيْ طَرِيْقِ مَكَّةَ, فَمَرَّ عَلَى جَبَلٍ يُقَالُ لَهُ جَمَدَان فَقَالَ: سِيْرُوْا هَذَا جَمَدَان, سَبَقَ الْمُفَرِّدُوْنَ, قَالُوْا: وَمَا الْمُفَرِّدُوْنَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الذَّاكِرُوْنَ اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتُ


“Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- pernah melakukan perjalanan ke Makkah, lantas beliau melewati sebuah gunung yang dinamakan Jamadan, kemudian beliau berkata:”Berjalanlah! Ini gunung Jamadan, telah menang al-Mufarridun, para sahabat bertanya:”Siapa al-Mufarridun itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab:”Laki-laki dan perempuan yang banyak berdzikir kepada Allah”[2].
Dalil-dalil di atas menunjukkan begitu besarnya keutamaan berdzikir, namun sebagaimana ibadah lainnya, suatu ibadah tidak akan diterima Allah kecuali apabila dilakukan sesuai syari’at serta mencontoh cara yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat beliau, Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-bersabda:


مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ


“Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini maka ia adalah tertolak”[3].
Begitu juga ka’idah yang masyhur yang mengatakan “Hukum asal ibadah adalah tauqifiyyah (tidak boleh dibuat-buat sendiri harus merujuk kepada syari’at)[4], maka tidak boleh bagi seseorang mengada-adakan cara-cara tersendiri dalam beribadah suapaya tidak terjatuh ke dalam bahaya bid’ah yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya termasuk melakukan dzikir jama’i yang tidak mempunyai dalil tentang kebenarannya.
Pengertian Dzikir Jama’i
Menurut Syaikh DR Muhammad al-Khamis, dzikir jama’i adalah apa yang dilakukan oleh sebagian orang dengan berkumpul setelah selesai shalat fardhu, atau pada waktu dan kesempatan lainnya untuk mengulang-ulang beberapa macam dzkir-dzikir, do’a-do’a dan wirid-wirid dengan suara serempak dipimpin oleh seseorang atau tanpa dipimpin, namun mereka tetap mengucapkan dzkir-dzikir itu dengan berjama’ah dan suara serempak[5].
Syaikh Ahmad an-Najjar mengatakan, bentuk dzikir jama’i ini:



هُوَ الْاِجْتِمَاعُ عَلَى الذِّكْرِ بِصَوْتٍ وَاِحٍد, سَوَاءٌ كَانَ الذِّكْرُ قُرْآنًا أَوْ دُعَاءً أَوْ تَسْبِيْحًا أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ لِغَيْرِ غَرَضِ التَّعْلِيْمِ


“Berkumpul untuk berdzikir dengan satu suara, baik dzikir itu berupa al-Qur’an, Do’a atau tasbih dan lain sebaginya (dengan catatan) bukan untuk tujuan mengajarkan[6].[7]
Beberapa di antara contoh-contoh dzikir jama’i:
1.    Mengucapakan dzikir-dzikir (seperti: tahlil, tasbih atau tahmid) setelah selesai shalat fardhu dengan berjama’ah dan satu suara dipimpin oleh imam.
2.    Imam shalat berdo’a setelah shalat fardhu dengan suara keras, lalu makmum mengaminkan dengan satu suara di belakang.
3.    Orang-orang berkumpul di masjid untuk melakukan takbiran (hari raya) dengan dipimpin oleh seseorang, lalu orang-orang dibelakangnya mengulang takbir itu secara serempak dengan satu suara[8].
4.    Yasinan, tahlilan, selakaran, manaqiban serta acara-acara semisal yang dilakukan dengan berjama’ah dan diucapkan dengan satu suara.
Hukum Dzikir Jama’i
Dzikir jama’i termasuk perkara bid’ah yang dilarang dengan alasan-alasan di bawah ini.
Pertama: Dzikir jama’i tidak pernah diperintahkan dan dianjurkan oleh Nabi- shallallahu alaihi wasallam-, seandainya Nabi pernah memerintahkan atau menganjurkan, niscaya hal itu akan disampaikan oleh para sahabat kepada ummat.
As-Syatibi berkata:


الدُّعَاءُ بِهَيْئَةِ الْاِجْتِمَاعِ دَائِماً لَمْ يَكُنْ مِنْ فِعْلِ رَسُوْلِ اللهِ


“Berdo’a dengan cara bersama-sama sama sekali bukan cara Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-[9].
Kedua: Pengingkaran para sahabat dan tabi’in terhadap mereka yang melakukan dzikir jama’i ini, seandainya mereka menganggap bahwa perkara ini tidak bertentangan dengan sunnah maka mereka tidak akan mengingkari para pelakunya, di antara para sahabat yang mengingkari perkara ini:
§  Umar Ibnul Khattab -radhiallahu anhu-:


عن أبي عثمان النهدي قال : (( كتب عامل لعمر بن الخطاب رضي الله عنه إليه : أن ها هنا قوماً يجتمعون، فيدعون للمسلمين وللأمير .  فكتب إليه عمر : أقبل وأقبل بهم معك فأقبل .  فقال عمر ، للبواب : أعِدَّ سوطاً ، فلما دخلوا على عمر ، أقبل على أميرهم ضرباً بالسوط .


Dari Abu Utsman an-Nahdi, dia berkata:”Seorang gubernur Umar berkirim surat kepada beliau mengatakan:” Di sini ada sekelompok kaum yang berkumpul lalu mereka berdo’a (secara serempak) untuk kaum muslimin dan pemimpin mereka. Lalu Umar membalas surat itu dengan mengatakan: ”Datanglah ke sini  dan bawalah mereka bersamamu”, maka gubernur itupun datang membawa mereka, lantas Umar berkata kepada penjaga:”Siapkan cambuk”, kemudian setelah mereka masuk, Umarpun menuju kepada pemimpin mereka dan mencambuknya”[10].

§  Abdullah bin Mas’ud -radhiallahu anhu-:



عن عمرو بن يحيى قال : سمعت أبي يحدث، عن أبيه قال : كُنَّا نَجْلِسُ عَلَى بَابِ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - قَبْلَ صَلَاةِ الغَدَاةِ، فَإِذَا خَرَجَ، مَشَيْنَا مَعَهُ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَجَاءَنَا أَبُوْ مُوْسَى الْأَشْعَرِيُّ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - فَقَالَ : أَخَرَجَ إِلَيْكُمْ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ قُلْنَا : لَا، بَعْدُ. فَجَلَسَ مَعَنَا حَتَّى خَرَجَ، فَلَمَّا خَرَجَ، قُمْنَا إِلَيْهِ جَمِيْعًا، فَقَالَ لَهُ أَبُو مُوسَى : يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، إِنَّي رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ آنِفًا أَمْرًا أَنْكَرْتُهُ وَلَمْ أَرَ - وَالْحَمْدُ للهِ - إِلَّا خَيْرًا. قَالَ : فَمَا هُوَ ؟ فَقَالَ : إِنْ عِشْتَ فَسَتَرَاهُ. قَالَ : رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ قَوْمًا حِلَقًا جُلُوْسًا يَنْتَظِرُوْنَ الصَّلَاةَ فِي كُلِّ حَلَقَةٍ رَجُلٌ، وَفِيْ أَيْدِيْهِمْ حَصًا، فَيَقُوْلُ : كَبِّرُوا مِئَةً، فَيُكَبِّرُوْنَ مِئَةً، فَيَقُوْلُ : هَلِّلُوا مِئَةً، فَيُهَلِّلُونَ مِئَةً، فَيَقُولُ : سَبِّحُوا مِئَةً، فَيُسَبِّحُونَ مِئَةً. قَالَ : فَمَاذَا قُلْتَ لَهُمْ ؟ قَالَ : مَا قُلْتُ لَهُمْ شَيْئًا انْتِظَارَ رَأْيِكَ أَوِ انْتِظَارَ أَمْرِكَ. قَالَ : أَفَلَا أَمَرْتَهُمْ أَنْ يَعُدُّوا سَيِّئَاتِهِمْ، وَضَمِنْتَ لَهُمْ أَنْ لَا يَضِيْعَ مِنْ حَسَنَاتِهِم، ثَمَّ مَضَى وَمَضَيْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَى حَلَقَةً مِنْ تِلْكَ الْحِلَقِ، فَوَقَفَ عَلَيْهِمْ، فَقَالَ : مَا هَذا الَّذِيْ أَرَاكُمْ تَصْنَعُوْنَ ؟ قَالُوا : يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَصًا نَعُدَّ بِهِ التَّكْبِيْرَ والتَّهْلِيلَ وَالتَّسْبِيْحَ. قَالَ : فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ، فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لَا يَضِيْعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَيْءٌ وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ، مَا أَسْرَعَ هَلَكَتكُمْ ! هَؤُلَاءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَافِرُوْنَ، وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ، وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ مُفْتَتِحُو بَابِ ضَلَالَةٍ. قَالُوا : وَاللهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، مَا أَرَدْنَا إِلَّا الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ تُصِيْبَهُ، إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا أَنَّ قَوْمًا يَقْرَؤُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ، وَايْمُ اللهِ مَا أَدْرِيْ لَعَلَّ أَكْتَرَهُمْ مِنْكُمْ، ثُمَّ تَوَلَّى عَنْهُمْ. فَقَالَ عَمْرُو بْنُ سَلَمَةَ : رَأَيْنَا عَامَّةَ أُولَئِكَ الْحِلَقِ يُطَاعِنُونَا يَوْمَ النَّهْرَوَانِ مَعَ الْخَوَارِجِ.


“Dari Amru bin Yahya, ia berkata : Aku mendengar ayahku meriwayatkan hadits dari ayahnya, ia berkata : Sebelum shalat shubuh, kami biasa duduk di depan pintu Abdullah bin Mas’ud -radhiallahu ‘anhu-. Jika dia sudah keluar rumah, maka kami pun berjalan bersamanya menuju masjid. Tiba-tiba kami didatangi oleh Abu Musa Al-Asy’ari -radhiallahu ‘anhu-, seraya bertanya : “Apakah Abu Abdirrahman (Abdullah bin Mas’ud) sudah keluar menemui kalian ?”. Kami menjawab : “Belum”. Lalu dia pun duduk bersama kami hingga Abdullah bin Mas’ud keluar rumah. Setelah dia keluar, kami pun bangkit menemuinya. Abu Musa berkata : “Wahai Abu Abdirrahman, tadi aku melihat kejadian yang aku ingkari di masjid, namun aku menganggap – segala puji bagi Allah – hal itu adalah baik”. Kata Ibnu Mas’ud : “Apakah itu ?”. Abu Musa menjawab : “Jika engkau berumur panjang, engkau akan mengetahui. Ada sekelompok orang di masjid, mereka duduk ber-halaqah sedang menunggu shalat. Setiap kelompok dipimpin oleh seseorang, sedang di tangan mereka terdapat kerikil. Lalu pimpinan halaqah tadi berkata : “Bertakbirlah seratus kali”, maka mereka pun bertakbir seratus kali. “Bertahlillah seratus kali”, maka mereka pun bertahlil seratus kali. “Bertasbihlah seratus kali”, maka mereka pun bertasbih seratus kali”. Ibnu Mas’ud bertanya : “Lalu apa yang engkau katakan kepada mereka ?”. Abu Musa menjawab : “Aku tidak berkata apa-apa hingga aku menunggu apa yang akan engkau katakan atau perintahkan”. Ibnu Mas’ud berkata : “Tidakkah engkau katakan kepada mereka agar mereka menghitung kesalahan mereka dan kamu jamin bahwa kebaikan mereka tidak akan disia-siakan”. Lalu Ibnu Mas’ud berlalu menuju masjid tersebut dan kami pun mengikuti di belakangnya hingga sampai di tempat itu. Ibnu Mas’ud bertanya kepada mereka : “Benda apa yang kalian pergunakan ini ?”. Mereka menjawab : “Kerikil wahai Abu Abdirrahman. Kami bertakbir, bertahlil, dan bertasbih dengan mempergunakannya”. Ibnu Mas’ud berkata : “Hitunglah kesalahan-kesalahan kalian, aku jamin kebaikan-kebaikan kalian tidak akan disia-siakan sedikitpun. Celaka kalian wahai umat Muhammad ! Betapa cepat kebinasaan/penyimpangan yang kalian lakukan. Para shahabat Nabi kalian masih banyak yang hidup. Sementara baju beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga belum lagi usang, bejana beliau belum juga retak. Demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya ! Apakah kalian merasa berada di atas agama yang lebih benar daripada agama Muhammad -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, ataukah kalian akan menjadi pembuka pintu kesesatan ?”. Mereka menjawab : “Wahai Abu Abdirrahman, kami tidaklah menghendaki kecuali kebaikan”. Ibnu Mas’ud menjawab : “Betapa banyak orang yang menghendaki kebaikan namun ia tidak mendapatkannya. Sesungguhnya Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- pernah berkata kepada kami : ‘Akan ada segolongan orang yang membaca Al-Qur’an, namun apa yang dibacanya itu tidak melewati kerongkongannya’. Demi Allah, aku tidak tahu, boleh jadi kebanyakan dari mereka adalah sebagian di antara kalian”. Amr bin Salamah berkata : “Kami melihat mayoritas diantara orang-orang yang ikut dalam halaqah itu adalah orang yang menyerang kami dalam Perang Nahrawaan yang bergabung bersama orang-orang Khawarij”[11].
Ketiga: Dalil-dalil umum yang melarang untuk membuat hal-hal baru dalam agama, semisal hadits A’isyah -radhiallahu anha- yang disebutkan sebelumnya, Rasulullah bersabda:


مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ


“Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini maka ia adalah tertolak”[12].
Sebagaimana telah dipaparkan bahwa dzikir jama’i sama sekali tidak pernah diperintahkan ataupun dianjurkan oleh Nabi -shallallahu alaihi wasallam-.
Keempat: Melakukan dzikir jama’i dengan satu suara sebagaimana yang dijelaskan terdapat usaha untuk tasyabbuh (menyerupakan diri) dengan orang-orang Nasrani yang menyanyikan lagu-lagu serta kidung-kidung agama mereka di gereja, sedangkan syari’at melarang kita menyerupakan diri dengan orang kafir dalam hal-hal yang merupakan kekhususan mereka.
Kelima: Dalam dzikir jama’i terdapat beberapa efek negatif yang membuat seorang muslim memastikan tentang terlarangnya perkara ini, di antaranya:
§  Berdzikir dengan suara keras dan serempak mengganggu orang lain yang sedang shalat dan membaca al-Qur’an, padahal Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda:


أَلَا إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ, فَلَا يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًاً، وَلَا يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي اْلقِرَاءَةِ


“Ketahuilah bahwasanya kalian semua sedang bermunajat kepada Rabbnya, maka jangan sekali-kali kalian saling mengganggu, dan janganlah sebagian mengangkat (suara) kepada sebagian lain dalam membaca (sehingga akan mengganggunya)”[13].
§  Terbiasa melakukan dzikir jama’i akan mengakibatkan seseorang terutama orang-orang awam sama sekali tidak berdzikir kecuali jika ada orang-orang yang berkumpul bersamanya untuk berdzikir.
§  Orang-orang yang melakukan dzikir jama’i terkadang-baik sengaja atau tidak-memotong-motong ayat atau dzikir yang ia ucapkan suapaya sesuai dengan lantunan nada yang menyebabkan lafadz dzikir yang ia ucapkan itu maknanya berubah. Bersambung.....


[1] HR.al-Bukhari no.6044, Muslim no.779.
[2] HR.Muslim no.2676.
[3] HR.al-Bukhari no.2697, Muslim no.1718
[4] Ka’idah ini sangat masyhur, disebutkan oleh banyak ulama besar terpercaya, semisal Ibnu Hajar al-Asqalani, beliau menyebutkannya dalam “Fathul Baari” (3/54), (2/80) seraya mengatakan:
التقرير فى العبادة إنما يؤخذ عن توقيف
“Penentuan ibadah hanya di ambil dari tauqif (hanya diambil dari dalil/tidak boleh mengada-adakan sendiri)”.
Kaidah ini disebutkan juga oleh:
-Ibnu Taimiyah dalam “al-Majmu” (29/17).
-Ibnu Muflih dalam “al-Aadabus Syar’iyyah” (2/265).
-“Nailul Authar” oleh as-Syaukani (2/20)
-Syarah al-Muwatta’ oleh az-Zarqani (1/434).
[5] Adz-Dzikrul Jama’I bainal Ittiba’ wal Ibtida’ hlm.11.
[6] Hukmudz Dzikril Jama’i bi Shautin Wahid hlm.57, taqdim Syaikh DR.Shalih as-Suhaimi
[7] Dari pengertian dan definisi yang dibawakan di atas, bisa disimpulkan dzikir jama’i ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
-Dilakukan dengan kumpul bersama
-Pembacaan dzikir, do’a atau wirid dilakukan dengan satu suara
-Biasanya dilakukan dengan dipimpin oleh seseorang lalu orang-orang dibelakang mengikuti dengan suara serempak.
[8] Adz-Dzikrul Jama’I hlm.16-17.
[9] Al-I’tisham 1/219
[10] Ma Ja’a fil Bida’ oleh Ibnu Waddah hlm.54, Ibnu Abi Syaibah dalam “al-Mushannaf” (8/558), dan sanadnya hasan.
[11] HR.ad-Darimi no.210, dengan sanad jayyid namun menjadi shahih dengan melihat jalan-jalannya yang lain.
[12] HR.al-Bukhari no.2697, Muslim no.1718
[13] HR.Abu Dawud, dishahihkan al-Albani dalam Shahih Abu Dawud no.1183, Shahihul Jami’ no.2639.

0 Response to "Para Ulama Menggugat Dzikir Jama'i (Bag.I) "

Posting Komentar

Pertanyaan dan komentar, akan kami balas secepatnya-insyaallah-.