Kapan
seorang yang musafir boleh berbuka, apakah dia boleh tidak berpuasa/berbuka
semenjak bersiap-siap untuk melakukan
perjalanan atau dia tidak boleh berbuka sampai dia telah keluar dari kota/kampung
tempat tinggalnya?
Dalam
pembahasan tentang hukum orang yang musafir berpuasa (1) telah dijelaskan bahwa
dibolehkan bagi orang yang melakukan safar untuk tidak berpuasa, namun yang
menjadi permasalahan sekarang adalah sejak kapan seorang yang musafir itu mulai
diperbolehkan tidak berpuasa alias berbuka, apakah sebelum dia keluar dari
rumahnya sembari mempersiapkan bekal perjalanan dia sudah boleh berbuka atau
bagaimana?
Para
ulama berbeda pendapat dalam masalah ini setidaknya dua pendapat:
Pendapat
pertama: Seorang yang musafir belum
diperbolehkan berbuka sampai dia keluar dari rumah, kota atau kampung tempat tinggalnya, pendapat ini
dipegang oleh banyak para ulama madzhab fiqh yang empat, hanafi[1],
maliki[2],
syafi’i[3]
dan hambali[4],
juga dari ulama masa kini syaikh Muhammad bin Shalih al-Utaimin[5]
serta Syaikh Shalih al-Fauzan[6].
Di
antara dalil mereka adalah firman Allah-ta’ala-:
فَمَن
شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena
itu, barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan
itu, maka hendaknya dia berpuasa di bulan itu.”(al-Baqarah:185).
Orang
musafir yang masih di kampung atau kota tempat tinggalnya masih dianggap syahid
(masih hadir di kota tempat tinggalnya) dan belum dikatakan musafir sampai dia
keluar dari kota atau kampungnya, oleh karena itu selama dia belum keluar dari
kotanya maka hukum-hukum yang diwajibkan bagi orang yang hadir di kotanya itu
juga diwajibkan atasnya termasuk berpuasa oleh sebab itu juga dia belum boleh
meng-qasar shalatnya sampai dia keluar dari kotanya.[7]
Pendapat
kedua: Boleh bagi seorang musafir yang
telah ber-azm (bertekad) untuk melakukan safar di bulan Ramadhan berbuka
sebelum dia keluar dari rumahnya atau kampung tempat tinggalnya, inilah pendapat
yang dipegang oleh sebagian ulama salaf seperti Hasan al-Bashri, Ishaq bin
Rahawaih juga sahabat yang mulia Anas bin Malik serta ulama masa kini yaitu
Syaikh al-Albani-rahimallahul jamii’-, dalil pendapat ini adalah riwayat
Anas bin Malik-radiallahu anhu-:
قال
محمد بن كعب- رضي الله عنه-: أتيت أنس بن مالك في رمضان, وهو يريد السفر, وقد رحلت
دابته, ولبس ثياب السفر, وقد تقارب غروب الشمس, فدعا بطعام, فأكل منه, ثم ركب,
فقلت له: سنة؟ فقال: نعم.
Muhammad
bin Ka’ab-radiallahu anhu-berkata:”Aku mendatangi Anas bin Malik di
bulan Ramadhan, ketika itu dia ingin melakukan safar, kendaraan tunggangannya
sudah dipersiapkan, dan diapun telah memakai pakaian yang akan dikenakan di perjalanan,
ketika itu sudah hampir matahari tenggelam, lalu dia minta diambilkan makanan,
lalu diapun makan, lantas dia menaiki kendaraannya, kemudian aku (Muhammad bin
Ka’ab) bertanya:”Apakah ini sunnah (Nabi-shallallahu alaihi wasallam-)? Maka
diapun menjawab”Ya.”(HR.at-Tirmidzi dan al-Baihaqi, dishahihkan al-Albani dalam
Shahih at-Tirmidzi no.641 dan dalam kitab “Tashih Hadits Ifthar
as-Sha’im Qabla Safari Ba’dal Fajri” hlm.13-28).
Syaikh
al-Albani-rahimahullah-mengatakan dalam kutaib beliau” Tashih Hadits
Ifthar as-Sha’im Qabla Safari Ba’dal Fajri”:
والحديث
صريح في هذا, بل هو يدل على أكثر من ذلك, وهو جواز الإفطار قبل الخروج بعد التأهب,
ولذلك قال ابن العربي المالكي: وأما حديث أنس فصحيح يقتضي جواز الفطر مع أهبة
السفر, حتى ذكر أن قوله: "من السنة" لابد من أن يرجع إلى التوقيف, والخلاف
فى ذلك معروف فى الأصول.
قال
الشوكاني في "نيل الأوطار" : والحق أن قول الصحابي : "من السنة"
ينصرف إلى سنة الرسول-صلى الله عليه وسلم-,و قد صرح هذا الصحابي بأن الإفطار
للمسافر قبل مجاوزة البيوت من السنة. انتهى قول الألباني-رحمه الله-.
“Hadits ini secara jelas menunjukkan hal ini
(bolehnya seorang musafir berbuka setelah datang waktu subuh/fajr[8]),
bahkan menunjukkan lebih dari itu, yaitu bolehnya berbuka (bagi musafir)
sebelum dia keluar (rumah) setelah dia mempersiapkan perjalanannya, oleh karena
itu Ibnul Arabi al-Maliki mengatakan:”Adapun hadits Anas ini maka ia adalah
hadits shahih, yang menunjukkan bolehnya berbuka (bagi musafir) yang telah
mempersiapkan perjalanannya, bahkan dia (Ibnul Arabi) menyebutkan bahwa
perkataan (sahabat)[9]:”Ini
termasuk sunnah” mesti hal itu bersumber dari Rasulullah-shallallahu
alaihi wasallam-, walaupun dalam ilmu usul terjadi perbedaan pendapat dalam
masalah ini.
As-Syaukani
mengatakan dalam “Nailul Authar”: “Pendapat yang benar bahwa perkataan
sahabat:”Ini termasuk sunnah” maksudnya adalah sunnah Rasulullah-shallallahu
alaihi wasallam-(Sedangkan pada hadits Anas) ini Anas bin Malik telah
mengatakan dengan jelas bahwa bolehnya berbuka bagi orang musafir sebelum dia
meninggalkan/keluar dari wilayah pemukimannya termasuk sunnah.” Demikian perkataan
Syaikh al-Albani-rahimahullah-.
Mana
Pendapat yang Lebih Kuat?
Wallahu
a’lam, pendapat yang kedua lebih
mendekati kebenaran, sebagaimana dikatakan orang bijak:
إذا
جاء نهر الله بطل نهر معقل
Karena
riwayat Anas di atas adalah riwayat shahih dan secara jelas menunjukkan hal ini,
walaupun pendapat yang pertama lebih berhati-hati. Wallohu a’lam.
[1]
Tabyinul Haqa’iq oleh az-Zaila’I : 1/209
[2]
Al-Istidzkaar oleh Ibnu Abdil Bar : 2/234
[3]
Mughnil Muhtaaj oleh as-Syarbini : 1/263
[4]
Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah : 3/13
[5]
As-Syarhul Mumti’ :3/346, Syaikh-rahimahullah-mengatakan:
ذهب
بعض أهل العلم إلى جواز الفطر إذا تأهب للسفر ولم يبق عليه إلا أن يركب, وذكروا
ذلك عن أنس رضي الله عنه أنه كان يفعله, وإذا تأملت الآية-أي: قوله تعالى: مَنْ كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ
مِنْ أَيَّامٍ أُخَر-وجدتَ أنه لا يصح هذا, لأنه إلى الآن لم يكن على سفر, فهو
الآن مقيم وحاضر. وعليه: فلا يجوز له أن يفطر إلا
إذا غادر بيوت القرية... أما قبل الخروج: فلا, لأنه
لم يتحقق السفر. فالصحيح, أنه لا يفطر حتى يفارق القرية, ولذلك لا يجوز أن يقصر
الصلاة حتى يخرج من البلد, فكذلك لا يجوز أن يفطر حتى يخرج من البلد.
“Sebagian ulama
berpendapat bolehnya berbuka bagi orang yang telah siap-siap untuk musafir,
jika ia hanya tinggal menaiki kendaraannya, mereka menyebutkan (dalil hal ini)
yaitu riwayat anas-radiallahu anhu-bahwa beliau pernah melakukannya, namun jika
anda merenungkan ayat ini-yaitu firman Allah:
مَنْ
كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَر
“Barangsiapa yang sakit atau sedang musafir (lalu dia berbuka),
maka dia menggantinya di hari-hari yang lain.”-maka anda akan menemukan bahwa
pendapat ini tidak tepat, karena sampai sekarang dia belum dikatakan musafir,
sampai sekarang dia masih tinggal dan berdomisili (di kampung atu kota tempat
tinggalnya). Oleh karena itu: maka ia tidak boleh berbuka sampai dia
meninggalkan pemukiman kampungnya…adapun jika belum meninggalkannya, maka tidak
boleh, karena safarnya belum terwujud (jika dia belum meninggalkan kampungnya),
jadi yang benar dia tidak berbuka sampai dia meninggalkan kampungnya, oleh
karena itu juga dia belum boleh meng-qasar shalatnya sampai dia keluar dari
negerinya, begitu juga dia tidak boleh berbuka sampai dia keluar dari
negerinya.”
[6]
Al-Muntaqa min Fatawa Syaikh al-Fauzan : 3/62, 63.
[7]
Al-Mughni : 3/118
[8] Karena
kitab beliau “Tashih Hadits Iftharis Sha’im Qabla Safarihi Ba’dal Fajri”
untuk membantah pendapat yang mengatakan bahwa seorang yang musafir tidak boleh
berbuka jika dia memulai safarnya setelah shubuh.
[9] Sebagaimana
dalam riwayat Anas bin Malik ini, karena ketika Anas ditanya:”Apakah ini
termasuk sunnah? Beliau menjawab:”Ya.”.
0 Response to "Hukum Seputar Berpuasa Bagi Orang Musafir (2), Kapan Seorang yang Musafir Boleh Berbuka?"
Posting Komentar
Pertanyaan dan komentar, akan kami balas secepatnya-insyaallah-.