كانت النفساء تجلس على عهد رسول
الله-صلى الله عليه وسلم-أربيعن يوما
“Dahulu perempuan-perempuan yang nifas duduk
(tidak melakukan hal-hal yang dilarang bagi orang yang haid dan nifas)[2]
selama 40 hari.”[3]
Adapun
wanita yang mengalami keguguran maka darah yang keluar setelah keguguran itu
tidak dianggap darah nifas kecuali bila janin yang keluar itu setelah Takhliq
(terbentuknya janin mis: bagian tangan, kaki, kepala dst.. telah nampak terbentuk),
dan Takhliq belum akan terjadi sampai janin berumur 80 hari ke atas,
berdasarkan firman Allah dalam al-Qur’an:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِنْ الْبَعْثِ فَإِنَّا
خَلَقْنَاكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنْ
مُضْغَةٍ مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ
“Wahai
manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka
(ketahuilah) sesungguhnya kami telah menjadikan kalian dari tanah, kemudian
dari nuthfah (setetes mani), kemudian alaqah (segumpal darah),
kemudian mudghah (segumpal daging) yang mukhallaqah dan ghairu
muhkallaqah (yang terbentuk dan belum terbentuk).”(al-Hajj:5).
Di sini
Allah mensifati mudghah dengan mukhallaqah dan ghairu mukhallaqah
(yang terbentuk dan belum terbentuk), sedangkan fase janin yang masih berbentuk
segumpal daging saja (mudghah) ini belum terjadi kecuali jika janin telah
berumur 40 hari ke atas berdasarkan riwayat terkenal dari Abdullah bin Mas’ud
tentang fase-fase terbentuknya janin sempurna dalam rahim seorang perempuan,
bahwa fase pertama berupa setetes mani selama 40 hari, segumpal darah 40 hari
lalu masuk ke fase berikutnya yaitu fase segumpal daging selama 40 hari,
lalu Allah mengirim seorang mala’ikat untuk menuliskan amalnya, rizki, ajal,
termasuk penduduk surga atau neraka dan meniupkannya ruh atau nyawa (HR.al-Bukhari
no.3208).
Jadi
fase yang dilalui oleh janin di dalam perut ibunya ada empat: fase 40 hari
pertama berupa setetes mani, fase 40 hari ke dua berupa segumpal darah lalu
fase 40 hari ke tiga berupa segumpal daging, kemudian setelah berumur 120 hari baru
ditiupkan ruh.
Jadi
perempuan yang mengalami keguguran tidak lepas dari tiga kondisi di bawah ini.
o Pertama: Jika
dia mengalami keguguran sebelum janin berumur 80 hari semenjak kehamilan, maka bisa
dipastikan bahwa darah yang keluar dari rahimnya bukan darah nifas namun darah
istihadah, sehingga perempuan bersangkutan tetap wajib shalat, puasa dan boleh
melakukan hal-hal yang dibolehkan lainnya layaknya perempuan yang tidak haidh
dan nifas.
o Kedua: Jika
perempuan itu mengalami keguguran setelah janin genap berumur 120 hari ke atas
(sudah ditiupkan ruh) maka bisa dipastikan bahwa perempuan bersangkutan mengalami
nifas dan tidak boleh shalat dan puasa.
o Ketiga: Jika
perempuan itu keguguran setelah genap janin berumur 80 hari ke atas namun belum
memasuki fase ditiupkannya ruh (umur 120 hari) maka ada dua kemungkinan
(sebagaimana disebutkan dalam surat al-Hajj di atas): sudah takhliq
atau belum, jika telah takhliq (janin telah terbentuk dengan jelas) maka
perempuan bersangkutan mengalami nifas namun jika belum takhliq (hanya
berbentuk darah saja misalnya) maka perempuan bersangkutan dianggap istihadhah.
Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin-rahimahullah-berkata:
ولا
يثبت النفاس إلا إذا وضعت ما تبين فيه خلق إنسان, فلو وضعت سقطاً صغيراً لم يتبين
فيه خلق إنسان فليس دمها دم نفاس, بل هو دم عرق, فيكون حكمها حكم الاستحاضة, وأقل
مدة يتبين فيها خلق إنسان ثمانون يوماً من ابتداء الحمل, وغالبها تسعون يوماً.
“Nifas itu tidak terjadi kecuali jika si
perempuan melahirkan janin yang telah berbentuk manusia, apabila hanya berupa
segumpal daging kecil yang belum jelas berbentuk manusia, maka darah yang
keluar dari perempuan itu bukan darah nifas, namun darah penyakit, maka dia
dianggap mengalami istihadhah, waktu minimal janin itu telah jelas berbentuk
manusia adalah 80 hari semenjak kehamilan, namun biasanya 90 hari.”[4] Wallahu
ta’ala a’lam.
[1] Al-Wajiiz
hlm.58
[2]
Hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh perempuan yang nifas dan haidh adalah
hal-hal yang dilarang bagi orang yang masih berhadats ditambah beberapa hal:
1.
Puasa, berdasarkan hadits
Mu’adzah ketika bertanya kepada A’isyah Ummul Mukminin tentang sebab perempuan
yang haidh wajib mengqadah’ puasanya namun tidak mengqadha’ shalatnya.(Muttafaq
Alaih)
2.
Tidak boleh disetubuhi oleh
suaminya, berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah:222.
[3] Shahih
Ibnu Majah no.530
[4] Ad-Dimaa’
at-Thabi’iyyah lin Nisa’ hlm.40.
0 Response to "Apakah Perempuan yang Mengalami Keguguran Dianggap Nifas?"
Posting Komentar
Pertanyaan dan komentar, akan kami balas secepatnya-insyaallah-.