Hukum Seputar Berpuasa Bagi Orang Musafir (2), Kapan Seorang yang Musafir Boleh Berbuka?

Kapan Seorang yang Musafir Boleh Berbuka?
Kapan seorang yang musafir boleh berbuka, apakah dia boleh tidak berpuasa/berbuka semenjak  bersiap-siap untuk melakukan perjalanan atau dia tidak boleh berbuka sampai dia telah keluar dari kota/kampung tempat tinggalnya?
Dalam pembahasan tentang hukum orang yang musafir berpuasa (1) telah dijelaskan bahwa dibolehkan bagi orang yang melakukan safar untuk tidak berpuasa, namun yang menjadi permasalahan sekarang adalah sejak kapan seorang yang musafir itu mulai diperbolehkan tidak berpuasa alias berbuka, apakah sebelum dia keluar dari rumahnya sembari mempersiapkan bekal perjalanan dia sudah boleh berbuka atau bagaimana?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini  setidaknya dua pendapat:
Pendapat pertama: Seorang yang musafir belum diperbolehkan berbuka sampai dia keluar dari rumah, kota atau  kampung tempat tinggalnya, pendapat ini dipegang oleh banyak para ulama madzhab fiqh yang empat, hanafi[1], maliki[2], syafi’i[3] dan hambali[4], juga dari ulama masa kini syaikh Muhammad bin Shalih al-Utaimin[5] serta Syaikh Shalih al-Fauzan[6].
Di antara dalil mereka adalah firman Allah-ta’ala-:

فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Karena itu, barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaknya dia berpuasa di bulan itu.”(al-Baqarah:185).
Orang musafir yang masih di kampung atau kota tempat tinggalnya masih dianggap syahid (masih hadir di kota tempat tinggalnya) dan belum dikatakan musafir sampai dia keluar dari kota atau kampungnya, oleh karena itu selama dia belum keluar dari kotanya maka hukum-hukum yang diwajibkan bagi orang yang hadir di kotanya itu juga diwajibkan atasnya termasuk berpuasa oleh sebab itu juga dia belum boleh meng-qasar shalatnya sampai dia keluar dari kotanya.[7]
Pendapat kedua: Boleh bagi seorang musafir yang telah ber-azm (bertekad) untuk melakukan safar di bulan Ramadhan berbuka sebelum dia keluar dari rumahnya atau kampung tempat tinggalnya, inilah pendapat yang dipegang oleh sebagian ulama salaf seperti Hasan al-Bashri, Ishaq bin Rahawaih juga sahabat yang mulia Anas bin Malik serta ulama masa kini yaitu Syaikh al-Albani-rahimallahul jamii’-, dalil pendapat ini adalah riwayat Anas bin Malik-radiallahu anhu-:

قال محمد بن كعب- رضي الله عنه-: أتيت أنس بن مالك في رمضان, وهو يريد السفر, وقد رحلت دابته, ولبس ثياب السفر, وقد تقارب غروب الشمس, فدعا بطعام, فأكل منه, ثم ركب, فقلت له: سنة؟ فقال: نعم.

Muhammad bin Ka’ab-radiallahu anhu-berkata:”Aku mendatangi Anas bin Malik di bulan Ramadhan, ketika itu dia ingin melakukan safar, kendaraan tunggangannya sudah dipersiapkan, dan diapun telah memakai pakaian yang akan dikenakan di perjalanan, ketika itu sudah hampir matahari tenggelam, lalu dia minta diambilkan makanan, lalu diapun makan, lantas dia menaiki kendaraannya, kemudian aku (Muhammad bin Ka’ab) bertanya:”Apakah ini sunnah (Nabi-shallallahu alaihi wasallam-)? Maka diapun menjawab”Ya.”(HR.at-Tirmidzi dan al-Baihaqi, dishahihkan al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi no.641 dan dalam kitab “Tashih Hadits Ifthar as-Sha’im Qabla Safari Ba’dal Fajri” hlm.13-28).
Syaikh al-Albani-rahimahullah-mengatakan dalam kutaib beliau” Tashih Hadits Ifthar as-Sha’im Qabla Safari Ba’dal Fajri”:

والحديث صريح في هذا, بل هو يدل على أكثر من ذلك, وهو جواز الإفطار قبل الخروج بعد التأهب, ولذلك قال ابن العربي المالكي: وأما حديث أنس فصحيح يقتضي جواز الفطر مع أهبة السفر, حتى ذكر أن قوله: "من السنة" لابد من أن يرجع إلى التوقيف, والخلاف فى ذلك معروف فى الأصول.
قال الشوكاني في "نيل الأوطار" : والحق أن قول الصحابي : "من السنة" ينصرف إلى سنة الرسول-صلى الله عليه وسلم-,و قد صرح هذا الصحابي بأن الإفطار للمسافر قبل مجاوزة البيوت من السنة. انتهى قول الألباني-رحمه الله-.

 
“Hadits ini secara jelas menunjukkan hal ini (bolehnya seorang musafir berbuka setelah datang waktu subuh/fajr[8]), bahkan menunjukkan lebih dari itu, yaitu bolehnya berbuka (bagi musafir) sebelum dia keluar (rumah) setelah dia mempersiapkan perjalanannya, oleh karena itu Ibnul Arabi al-Maliki mengatakan:”Adapun hadits Anas ini maka ia adalah hadits shahih, yang menunjukkan bolehnya berbuka (bagi musafir) yang telah mempersiapkan perjalanannya, bahkan dia (Ibnul Arabi) menyebutkan bahwa perkataan (sahabat)[9]:”Ini termasuk sunnah” mesti hal itu bersumber dari Rasulullah-shallallahu alaihi wasallam-, walaupun dalam ilmu usul terjadi perbedaan pendapat dalam masalah ini.
As-Syaukani mengatakan dalam “Nailul Authar”: “Pendapat yang benar bahwa perkataan sahabat:”Ini termasuk sunnah” maksudnya adalah sunnah Rasulullah-shallallahu alaihi wasallam-(Sedangkan pada hadits Anas) ini Anas bin Malik telah mengatakan dengan jelas bahwa bolehnya berbuka bagi orang musafir sebelum dia meninggalkan/keluar dari wilayah pemukimannya termasuk sunnah.” Demikian perkataan Syaikh al-Albani-rahimahullah-.
Mana Pendapat yang Lebih Kuat?
Wallahu a’lam, pendapat yang kedua lebih mendekati kebenaran, sebagaimana dikatakan orang bijak:

إذا جاء نهر الله بطل نهر معقل

Karena riwayat Anas di atas adalah riwayat shahih dan secara jelas menunjukkan hal ini, walaupun pendapat yang pertama lebih berhati-hati. Wallohu a’lam.


[1] Tabyinul Haqa’iq oleh az-Zaila’I : 1/209
[2] Al-Istidzkaar oleh Ibnu Abdil Bar : 2/234
[3] Mughnil Muhtaaj oleh as-Syarbini : 1/263
[4] Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah : 3/13
[5] As-Syarhul Mumti’ :3/346, Syaikh-rahimahullah-mengatakan:                       
ذهب بعض أهل العلم إلى جواز الفطر إذا تأهب للسفر ولم يبق عليه إلا أن يركب, وذكروا ذلك عن أنس رضي الله عنه أنه كان يفعله, وإذا تأملت الآية-أي: قوله تعالى: مَنْ كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَر-وجدتَ أنه لا يصح هذا, لأنه إلى الآن لم يكن على سفر, فهو الآن مقيم وحاضر. وعليه: فلا يجوز له أن يفطر إلا إذا غادر بيوت القرية... أما قبل الخروج: فلا, لأنه لم يتحقق السفر. فالصحيح, أنه لا يفطر حتى يفارق القرية, ولذلك لا يجوز أن يقصر الصلاة حتى يخرج من البلد, فكذلك لا يجوز أن يفطر حتى يخرج من البلد.
“Sebagian ulama berpendapat bolehnya berbuka bagi orang yang telah siap-siap untuk musafir, jika ia hanya tinggal menaiki kendaraannya, mereka menyebutkan (dalil hal ini) yaitu riwayat anas-radiallahu anhu-bahwa beliau pernah melakukannya, namun jika anda merenungkan ayat ini-yaitu firman Allah:
مَنْ كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَر
“Barangsiapa yang sakit atau sedang musafir (lalu dia berbuka), maka dia menggantinya di hari-hari yang lain.”-maka anda akan menemukan bahwa pendapat ini tidak tepat, karena sampai sekarang dia belum dikatakan musafir, sampai sekarang dia masih tinggal dan berdomisili (di kampung atu kota tempat tinggalnya). Oleh karena itu: maka ia tidak boleh berbuka sampai dia meninggalkan pemukiman kampungnya…adapun jika belum meninggalkannya, maka tidak boleh, karena safarnya belum terwujud (jika dia belum meninggalkan kampungnya), jadi yang benar dia tidak berbuka sampai dia meninggalkan kampungnya, oleh karena itu juga dia belum boleh meng-qasar shalatnya sampai dia keluar dari negerinya, begitu juga dia tidak boleh berbuka sampai dia keluar dari negerinya.”
[6] Al-Muntaqa min Fatawa Syaikh al-Fauzan : 3/62, 63.
[7] Al-Mughni : 3/118
[8] Karena kitab beliau “Tashih Hadits Iftharis Sha’im Qabla Safarihi Ba’dal Fajri” untuk membantah pendapat yang mengatakan bahwa seorang yang musafir tidak boleh berbuka jika dia memulai safarnya setelah shubuh.
[9] Sebagaimana dalam riwayat Anas bin Malik ini, karena ketika Anas ditanya:”Apakah ini termasuk sunnah? Beliau menjawab:”Ya.”.

0 Response to "Hukum Seputar Berpuasa Bagi Orang Musafir (2), Kapan Seorang yang Musafir Boleh Berbuka?"

Posting Komentar

Pertanyaan dan komentar, akan kami balas secepatnya-insyaallah-.