Menentukan
awa Ramadhan diakukan dengan dua cara yaitu, dilihatnya hilal Ramadhan walau
hanya oleh satu orang adil (sholeh) atau
menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari, hal ini beradsarkan dalil-dalil
shahih dari a-Qur’an dan sunnah.
Allah
berfirman:
فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barangsiapa di antara kalian
menyaksikan buan itu maka hendaknya dia puasa pada bulan itu”.(QS.al-Baqarah:185).
Dari
Abdullah bin Umar, dia berkata:”Orang-orang berusaha melihat hilal, lalu akupun
mengabari Nabi-shallallahu alaihi wasallam-bahwa aku melihat hilal, maka
beliaupun puasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa”[1].
Dari
Abu Hurairah Rasulullah bersabda:”Berpuasalah kalian jika meihat hilal dan
berhentilah puasa jika melihat hilal, apabila hilal tidak terlihat maka
sempurnakanlah jumlah bulan Sya’ban menjadi 30”[2].
Mayoritas ulama mengatakan bahwa hilal
Ramadhan cukup dengan persaksian satu orang saja berdasarkan hadits Abdullah
bin Umar di atas, adapun hilal Syawwal maka harus dengan persaksian minimal dua
orang, hal ini berdasarkan riwayat lain yang menunjukkan akan hal ini,
beliau-shallallahu alaihi wasallam-bersabda:
...فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُوْمُوْا وَأَفْطِرُوْا
“…Apabila dua orang bersaksia maka berpuasa
dan berhentilah berpuasa”[3].
Hadits
dia atas menunjukkan bahwa penentuan masuknya bulan Ramadhan diketahui dengan
dua saksi (yang melihat hilal), namun riwayat ini dikhususkan oleh riwayat
Abdullah bin Umar di atas yang menunjukkan bahwa awal Ramadhan cukup dengan satu
saksi saja, adapun penentuan awal Syawal (berakhirnya Ramadhan) berdasarkan
hadits di atas menunjukkan bahwa minimal saksinya ada dua dan tidak ada riwayat
lain yang mengkhususkannya.
Menentukan
Awal Ramadhan Dengan Hisab
Penentuan
awal Ramadhan sebagaimana telah dipaparkan berdasarkan terlihat atau tidaknya
hilal bukan dengan hisab, karena Nabi-shallallahu alihi wasallam-bersabda:
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ, اَلشَّهْرُ هَكَذَا
وَهَكَذَا
“Sesungguhnya kami adalah ummat ummiyah, kami tidak kenal
tulis-menulis dan hitung-menghitung (hisab), bulan itu seperti ini (beliau
berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan angka
30)”[4].
Ibnu
Hajar as-Syafi’I berkata:”…Hukum puasa selalu dikaitakan dengan ru’yah (hilal )
walaupun orang-orang setelah generasi terbaik (para sahabat) membuat hal
baru (bid’ah) dalam masalah ini, jika kita melihat konteks yang dibicarakan
dalam hadits akan nampak jelas bahwa hukum sama sekali tidak di kaitkan dengan
hisab, bahkan hal ini semakin jelasa dengan penjelasan dalam hadits “…Jika
mendung (sehinggga hilal tidak terlihat) maka sempurnakan bilangan bulan Sya’ban
menjadi 30 hari..”[5].
Di sini Nabi –shallallahu alaihi wasallam- tidak mengatakan :“Apabila hilal
tidak terlihat tanyakan kepada ahli hisab”, hikmah mengapa kita disuruh
menggenapkan 30 hari adalah supaya tidak terjadi perseisihan di tengah-tengah
mereka”[6].
0 Response to "Penentuan Awal dan Akhir Ramadhan dengan Ru'yah Bukan Hisab"
Posting Komentar
Pertanyaan dan komentar, akan kami balas secepatnya-insyaallah-.