Prolog
Perhelatan
politik dan pilpres di Indonesia tercinta tahun ini, benar-benar telah menyita
fokus dan perhatian kaum muslimin dari berbagai elemen dan lapisan masyarakat.
Padahal yang demikian ini, tidak terjadi pada Pemilu-Pemilu sebelumnya.
Tidak
bisa dipungkiri, bahwa dialog dan perdebatan dalam masalah Politik dan Pemilu
ini, ditambah lagi dengan isu-isu dan berita-berita media yang sarat akan
kepentingan kubu politik tertentu, menjadikan topik Pemilu sangat rentan
menimbulkan pertikaian dan perpecahan di tubuh kaum muslimin Indonesia.
Sementara
perpecah-di satu sisi-, serta tercerai-berainya persatuan Islam dan kaum
muslimin, tidak diragukan lagi merupakan musibah yang sangat besar. Lebih besar
lagi, manakala perpecahan itu menimpa ahlussunnah. Dampaknya, dakwah akan
melemah, jika tidak dikatakan mandeg. Akibatnya, pembenahan dan pembangunan
ummat akan melambat, jika tidak dikatakan jalan ditempat, atau bahkan mundur
sampai ke titik nadir.
Ada
banyak ayat yang memerintahkan kita untuk senantiasa bersatu di atas al-haq,
demikian halnya dengan ayat-ayat yang melarang keras perpecahan. Di antaranya
adalah:
وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَاخْتَلَفُواْ مِن
بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلَـئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Dan
janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih
sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah
orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” [Ali Imran: 105]
وَأَطِيعُواْ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَلاَ تَنَازَعُواْ فَتَفْشَلُواْ
وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُواْ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Dan
ta`atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian berbantah-bantahan,
yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu, dan bersabarlah.
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” [al-Anfâl: 46]
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ
الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء
“Sesungguhnya
syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara
kalian…” [al-Mâ-idah: 46]
Berdasarkan
ayat-ayat di atas, maka bisa dipahami bahwa menjauhkan ummat dari sebab-sebab
perpecahan dari al-haq, adalah salah satu maksud syari’at yang terbesar.
Sebagaimana persatuan di atas al-haq, serta mengerahkan segenap daya upaya
untuk mewujudkannya, merupakan salah satu tujuan syari’at Islam yang paling
agung.
Untuk
itu, dengan mengharap keridhaan Allâh kepada segenap kaum muslimin dan kepada
Indonesia tercinta secara khusus, maka kami menyampaikan poin-poin nasehat
berikut ini:
Pertama: Senantiasa bertakwa pada Allâh dan
bersabar dalam ketakwaan di setiap waktu dan keadaan.
Propaganda media, telah menggambarkan masa
depan yang suram bagi Islam di Indonesia. Isu-isu yang tidak jelas, telah
menjadikan kaum muslimin dilingkupi rasa takut yang berlebihan, menjadikan
sebagian mereka bertindak di luar koridor, anehnya, itu semua mengatasnamakan
kondisi darurat. Padahal dengan takwa, berbagai macam malapetaka, ketakutan dan
kesedihan akan lenyap. Karena perlindungan Allâh dan akhir yang baik akan
selalu bersama orang-orang bertakwa:
وَنَجَّيْنَا الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
“Dan
Kami selamatkan orang-orang yang beriman dan mereka adalah orang-orang yang
bertakwa.” [QS. Fushilat: 18]
Dengan
takwa yang dibingkai dengan kesabaran, makar musuh-musuh Islam dan tipu daya
para pendengki kaum muslimin, tak akan mendatangkan mudarat. Karena Allâh
berfirman:
وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ
شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ
“Jika
kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka (musuh-musuh Islam)
sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah
mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.” [Ali
Imran: 120]
Renungkanlah
firman Allâh, ketika menggambarkan situasi dan ancaman nyata yang amat mencekam
terhadap Bani Israil, saat:
“Fir’aun berkata: ‘Akan kita bunuh anak-anak
lelaki mereka dan kita biarkan hidup perempuan-perempuan mereka dan
sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas mereka’”. [QS. Al-A’râf: 127]
Kemudian apa kata Musa ‘alahissalâm di
saat-saat realita genting yang menakutkan tersebut ada di depan mata?
“Musa berkata kepada kaumnya: “Mohonlah
pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan
Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya.
Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa“. [QS. Al-A’râf: 128]
Sungguh, kondisi kita saat ini (Pemilu 2014 di
Indonesia) sangatlah jauh dari realita teror yang memberikan ancaman nyata
terhadap Bani Israil saat itu. Lantas, atas dasar apa kita mengatakan bahwa
kondisi kaum muslimin Indonesia saat ini berada dalam status gawat darurat?
Mengapa kita harus disibukkan dengan isu-isu politik yang sarat akan intrik dan
kepentingan golongan, sehingga kita harus melabrak rambu-rambu Allâh dan Rasul-Nya?
Dengan takwa, yaitu iman dan amal shalih,
kepemimpinan Islam akan diraih, agama ini akan menjadi kokoh, ketakutan akan
berganti dengan rasa aman. Ini sudah menjadi janji Allâh dalam firman-Nya:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang
yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia
sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia
telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan
Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam
ketakutan menjadi aman sentausa. (Syaratnya) Mereka tetap menyembah-Ku
dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku…” [QS. An-Nûr: 55]
Pada momen-momen perpolitikan yang semakinmemanas saat ini, fitnah—khususnya perpecahan dan pertikaian—tengah berkecamuk
dan ikut memanas. Di saat-saat seperti inilah, kita dituntut untuk semakin
meningkatkan ketakwaan kita pada Allâh. Bukan justru terjun ke medan fitnah
(sekalipun dengan alasan ingin memadamkan api fitnah) atau ikut andil menjadi
agen penebar fitnah di tengah ummat. Perbuatan yang demikian ini, adalah bukti
ketidaksabaran di atas takwa.
Saat fitnah ini kian memanas, mari
mendinginkannya dengan ibadah kepada Allâh. Mari mengajak ummat untuk lebih
mengokohkan ibadah mereka. Renungkanlah sabda Rasûl shallallâhu ‘alaihi
wasallam:
العِبَادَةُ فِي الْهَرَجِ كَهِجْرَةٍ إِلَيَّ
“Ibadah di saat huru-hara fitnah, nilainya
seperti hijrah menuju aku.” [Shahih Muslim]
Al-Imâm an-Nawawi rahimahullâh mengatakan:
المراد بالهرج هنا الفتنة واختلاط أمور الناس، وسبب كثرة فضل
العبادة فيه أن الناس يغفلون عنها ويشتغلون عنها، ولا يتفرغ لها إلا أفراد
“Yang dimaksud al-haroj di sini adalah
fitnah, kekacauan dan kesimpangsiuran yang terjadi di masyarakat. Adapun
besarnya fadhilah ibadah pada saat-saat seperti itu, disebabkan manusia sudah
pada lalai dari ibadah, mereka sibuk dengan fitnah hingga melupakan ibadah,
mereka tidak menyibukkan diri dengan ibadah, kecuali segelintir orang saja.”
[Syarh Shahïh Muslim, an-Nawawi]
Kedua: Dakwah tauhid & sunnah adalah
sebesar-besar bentuk ikhtiar, maka jangan sampai politik menyibukkan kita
darinya
Mengajak pada Allâh, merupakan bentuk ikhtiar
terbesar yang bisa kita lakukan demi masa depan Islam di Indonesia yang lebih
baik. Janganlah seorang muslim menuduh saudaranya yang sibuk dalam dakwah
tauhid dan sunnah, bahwa dia tidak peduli dengan kondisi ummat di negeri ini.
Justru mencurahkan seluruh energi dan pikiran untuk dakwah tauhid dan sunnah,
merupakan bentuk kepedulian terbesar atas kondisi ummat. Karena dakwah tauhid
dan sunnah akan menjadikan ummat bergerak melakukan perubahan pada diri dan
keluarga mereka masing-masing, dan inilah kunci perubahan masyarakat yang
hakiki.
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan
sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada
yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain
Dia.” [QS. Ar-Ra’du:
11]
Sejarah perjuangan dakwah Rasûlullâh shallallâhu
‘alaihi wasallam seharusnya cukup menjadi pelajaran bagi kita. Selama 13
tahun beliau berdakwah dan membangun ummat di bawah terror dan intimidasi kafir
Quraisy, tidak sedikit pun beliau tertarik dengan perpolitikan (non-syar’i) di Dârun
Nadwah. Padahal, beliau punya peluang dan posisi tawar secara politik,
manakala tokoh-tokoh kafir Quraisy menawarkan kedudukan sebagai pemimpin. Namun
apa sikap yang beliau tempuh? Beliau memilih konsisten di jalan dakwah dan
membenahi ummat dari dasar.
Ketiga: Berdo’a pada Allâh untuk pemimpin
Indonesia yang terbaik.
Baik Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK, semuanya
adalah muslim, walhamdulillâh. Seorang ulama bisa saja berijtihad
memilih mana yang terbaik dari kedua pasangan tersebut berdasarkan analisa
informasi dan data-data yang dimilikinya. Namun, seorang alim sekaliber apapun,
tidak boleh memastikan “ini yang terbaik” bagi masa depan Islam di Indonesia.
Jika para alim ulama dan cendikiawan besar sekalipun tidak boleh memastikan hal
ini, apalagi orang-orang awam di antara kita..?! Karena betapa banyak realita
dan fakta yang menunjukkan bahwa pilihan kita—yang kita anggap lebih
masalahat—terkadang menjadi bumerang dan mudarat di kemudian hari.
وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ
وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ
لاَ تَعْلَمُونَ
“…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia
amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat
buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [QS. Al-Baqarah: 216]
Untuk itu, kaum muslimin tidak boleh
melupakan do’a ke hadirat Allâh, agar menjadikan untuk Islam dan kaum muslimin
di negeri ini pemimpin yang terbaik. Karena Allâh, Dialah al-‘Alïm
al-Khobïr, Dzat yang Mahamengetahui setiap detail perkara yang akan terjadi
di masa depan, yang Mahamengilmui tentang segenap maslahat dan mudarat—dari
yang terkecil sampai yang terbesar—bagi Muslim Indonesia di masa depan. Dialah al-Lathïf
al-Hakïm, Dzat yang Mahalembut dan Mahabijak dalam menetapkan takdir dan
ketentuan yang terbaik bagi Muslim Indonesia.
Dengan do’a, sangat mungkin Allâh akan merubah
keadaan seorang pemimpin dari buruk menjadi baik dan justru mendatangkan
maslahat yang besar di kemudian hari. Sebagaimana tanpa do’a, sangat mungkin
Allâh akan merubah keadaan seorang pemimpin yang kita idolakan dan harapkan,
justru menjadi lebih buruk serta mendatangkan mudarat.
Selanjutnya di antara do’a yang bisa kita amalkan
untuk saat ini adalah:
اللَّهُمَّ لَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لَا
يَخَافُكَ فِيْنَا وَلَا يَرْحَمُنَا
“Ya
Allâh, dikarenakan dosa-dosa kami, janganlah Engkau kuasakan orang-orang yang
tidak takut kepada-Mu atas kami dan tidak pula mereka welas asih kepada kami.”
Atau
do’a Abu Hurairah radhiallâhu’anhu berikut ini:
اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُبِكَ مِنْ إِمَارَةِ الصِّبْيَانِ
وَالسُّفَهَاء
“Ya
Allâh, sungguh kami berlindung kepada-Mu dari pemimpin yang kekanak-kanakan dan
dari pemimpin yang bodoh.” [HR.
al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, dari Sa’ïd bin Sam’ân]
Keempat: Jangan disibukkan dengan berita-berita media
terkait perhelatan politik terkini dari ilmu dan dakwah.
Jangan
sampai koran lebih menarik untuk ditelaah ketimbang al Qur’an. Jangan sampai
info-info yang berseliweran di Facebook, Twiter dan jejaring sosial lainnya
menyibukkan kita dari kewajiban-kewajiban asasi kita selaku hamba Allah.
Sungguh
aneh, jika seorang “Salafy” yang terdidik kental di atas prinsip tastabbut dan
tabayyun, kritis dan selektif dalam menerima suatu hadits, tiba-tiba saja jadi
seorang reporter dadakan yang menyebarkan berita yang dipungutnya dari berbagai
tempat tanpa perduli akan tingkat kebenaran berita tersebut. Yang penting,
berita tersebut mendukung capres idolanya, dan mendiskreditkan capres lawan.
Hendaknya
kita ingat selalu sabda Rasulullah:
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ.
صحيح الجامع: ٤٤٨٢
قال المناوي رحمه الله تعالى: “أي إذا لم يتثبت لأنه يسمع عادة
الصدق والكذب فإذا حدّث بكل ما سمع لا محالة يكذب
“Cukuplah seseorang dikatakan berdusta, jika ia
menyampaikan semua berita yang ia dengar (tanpa tastabbut).” [Shahihul Jami': 4482]
Berkata al-Munâwi rahimahullâh: “yang dimaksud qïla wa qôla (dalam
hadits tersebut) adalah; manakala berita yang dinukil belum ia pastikan
kebenarannya, karena terkadang dia mendengar berita yang benar dan terkadang
berita yang dusta. Jika dia menyampaikan semua apa yang ia dengar, maka pasti
dia akan jatuh ke dalam dusta…”
وَكَانَ يَنْهَى عَنْ قِيْلَ وَقَالَ
“Nabi
melarang desas-desus (sibuk menukil dan menyebarkan kabar burung).” [Shahihul Bukhari: 6108]
Kelima: Yakin dengan janji-janji Allâh dan sabar, akan
melahirkan para pemimpin yang syar’i.
Tidak
sedikit di antara aktifis dakwah yang tergesa-gesa, tidak sabar dalam dakwah.
Tanpa sadar, mereka terfitnah dengan jumlah pengikut (followers) yang banyak.
Begitu cepat mereka termakan isu media dan desas-desus yang disampaikan oleh
para pengikutnya. Akhirnya, bertindaklah mereka dengan tindakan-tindakan yang
menyebabkan mereka keluar dari arah perjuangan dakwah semula. Ini tentu tidak
terjadi begitu saja, namun terjadi perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, tanpa
di sadari.
Ini
semua adalah bukti kurangnya rasa yakin akan janji-janji Allâh dalam al-Qur’ân
dan ketidaksabaran kita dalam menghadapi propaganda syaithon, yang selalu
berusaha sekuat tenaga siang dan malam untuk mengendorkan kita dari dakwah.
Padahal, yakin dan sabar adalah 2 modal terbesar untuk melahirkan
pemimpin-pemimpin yang syar’i, sebagaimana firman Allâh:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا
صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan
Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan
perintah Kami ketika mereka sabar, dan mereka meyakini ayat-ayat Kami.” [QS. As-Sajdah: 24]
Keenam: Jangan membeberkan aib seorang muslim apalagi jika
dia adalah seorang pemimpin.
Dari
lahiriyah yang kita ketahui, semua Capres-Cawapres Pemilu kali ini adalah
muslim. Kita tidak dibenarkan untuk menelusuri apa yang tersembunyi dalam
bathin seorang muslim, apakah dia mukmin atau munafik. Atas dasar ini, haram
bagi seorang muslim untuk mencela saudaranya sesama muslim, dan inilah yang
menjadi hukum asal.
Jika
dipandang ada maslahat yang lebih besar ketimbang mudarat yang mungkin terjadi
akibat membeberkan aib seorang muslim, maka ini boleh dilakukan, asalkan tetap
pada koridor dan batasan-batasan yang telah dijelaskan oleh para ulama
(seperti; tidak melampaui batas, sampai mengarah kepada pengkafiran, ini jelas
keliru).
Namun
jika seseorang tidak memiliki ilmu dan kemampuan dalam menimbang
maslahat-mafsadat ketika mengghibah, maka kembalikanlah ke hukum asal, Insya
Allâh ini lebih selamat bagi kita (penuntut ilmu dan orang awam). Tidak
sepantasnya kita ikut sibuk dalam perkara-perkara yang hanya khusus menjadi
haknya para ulama rabbani.
Jika
muslim yang dighibahi tersebut kebetulan seorang pemimpin, maka keharaman
menyebarkan aibnya lebih besar lagi. Jika tidak ada ulama rabbani yang
berbicara menyebarkan aib seorang pemimpin, maka para penuntut ilmu dan
orang-orang awam lebih utama untuk diam. Dan kita tidak dibebani oleh Allâh
atas apa-apa yang tidak sanggup kita pikul. Dan sikap diam, sekali lagi, bukan
berarti ketidakpedulian terhadap kondisi ummat.
Ketujuh: Taati pemimpin muslim yang telah berkuasa.
Capres-Cawapres
manapun yang akan terpilih nantinya setelah Pemilu 2014 ini, maka kewajiban
kita adalah mendengar dan taat pada perkara-perkara yang ma’ruf.
Jika
pada suatu daerah atau propinsi tertentu kaum muslimin dipimpin oleh
orang-orang kafir, maka orang pertama yang harus kita persalahkan adalah diri
kita, kaum muslimin sendiri. Sebab, mustahil Allâh akan menguasakan orang kafir
di atas kaum muslimin, jika bukan karena dosa-dosa dan kesalahan yang telah
menggerus keimanan kita. Allâh telah berjanji kepada orang-orang yang sejati
dalam keimanannya:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
سَبِيلًا
“Allâh sekali-kali tidak akan memberi jalan
kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman.” [QS. An-Nisaa: 141]
Pemimpin yang zhalim, tidak lahir kecuali dari
rakyat yang zhalim. Karena Allâh berfirman:
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا
كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Dan demikianlah, Kami jadikan sebagian orang
zhalim berkuasa atas sebagian mereka (yang juga zhalim) disebabkan apa-apa yang
mereka usahakan (berupa maksiat dan kezhaliman).” [QS. Al-An’âm: 129]
Dalam tafsirnya, Al-A’masy rahimahullâh
mengomentari ayat tersebut:
إذا فسد الناس أمّر عليهم شرارهم
“Jika manusia telah rusak, maka akan
dijadikan untuk mereka pemimpin yang paling jahat di antara mereka.” [Dinukil Tafsïr ath-Thabari]
Jika sampai suatu daerah dipimpin
oleh orang kafir, maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah bertaubat
kepada Allâh, dengan sebenar-benar taubat. Kemudian kembali merapatkan barisan
dalam ilmu dan dakwah ke jalan Allâh, dengan penuh keikhlasan dan mengharap
wajah Allâh semata.
SEBAGAI
PENUTUP, kami berdo’a dan bermunajat kepada
Allâh, Dzat yang di tangan-Nya seluruh kerajaan dan kekuasaan, agar tidak
menjadikan pemimpin di negeri ini dari kalangan orang-orang kafir, munafik,
atau antek-antek kafir dan munafik, atau boneka orang-orang kafir dan munafik
beserta kaki tangan mereka. Semoga Allâh menjadikan para pemimpin Indonesia
ke depan, adalah mereka yang dekat kepada Islam, yang dekat dan mencintai para
ulama ahlussunnah, serta menyayangi kaum muslimin.
***
Disusun
bersama oleh Forum Asatidz Lombok
Duduk
dalam Forum tersebut para tetua Asatidz dan Tokoh-Tokoh Dakwah Salafiyyah
Lombok, di antaranya:
Ust.
Mukti Ali Abdulkarim, TGH. Mahsun, Abu Hakam Abdurrahman Hizam, Ust. Mizan
Qudsiah, Ust. Fakhurddin Abdurrahman, Ust. Sofyan Bafin Zen, Ust. Zahid
Zuhendra, Ust. Masyhuri Badran, Ust. Abdullah Husni, dan para asatidz lainnya…
0 Response to "Nasehat Asatidz Lombok Terkait Situasi Politik Dan Pemilihan Presiden 2014 Indonesia"
Posting Komentar
Pertanyaan dan komentar, akan kami balas secepatnya-insyaallah-.